UIN: Beyond Islamic University



(Hasanuddin Ali (Founder dan CEO Alvara Research Center))

Apa yang terlintas dibenak anda jika mendengar UIN? Pasti sebagian besar dari anda akan menjawab kampus islam. Apakah anda tahu perbedaan antara IAIN dengan UIN? Bagi orang pernah bergelut di dunia pendidikan, utamanya pendidikan keagamaan, akan paham, tapi sebagian besar masyarakat awam mungkin menganggap UIN hanyalah “extended” dari IAIN.


Persepsi publik semacam itu belum tentu salah, karena pada kenyataannya memang demikian. UIN adalah bentuk transformasi kelembagaan dari asalnya IAIN agar ada lompatan kualitas pendidikan tinggi keagamaan.


Kerena itu dalam perkembangannya di UIN pun hari ini tidak melulu bicara soal agama, program studi non agama berkembang biak dengan sangat baik dalam lingkungan UIN. Prodi keilmuan umum semacam Psikologi, Kedokteran, Sains dan Teknologi sekarang juga sudah bisa ditemui di UIN.

Lalu pertanyaannya meski sudah cukup lama kenapa dalam beberapa kasus prodi umum di UIN masih belum menjadi pilihan utama calon mahasiswa, atau dalam skala yang lebih luas kenapa UIN belum menjadi destinasi nomer satu bagi lulusan terbaik SMA?


Terlalu kuatnya persepsi publik bahwa di UIN hanya belajar “ilmu-ilmu keislaman” (Bukan ttg kampus Islamnya) sehingga menyulitkan UIN untuk melakukan diversifikasi produk dan penetrasi ke pasar baru. Ini berbeda dengan UK Petra, UNISMA. Sekalipun dua kampus ini mencantumkan nama agama dan masyarakat tahu bahwa kampus yg didirikan oleh pemeluk agama tertentu, mengemban misi agama, namun sejak awal publik tahu bahwa mereka memberi berbagai layanan akademik di luar kajian keagamaan. Bahkan kajian keagamaan hanyalah salah satu produk di antara puluhan produk lain. Juga, studi keagamaan tidak harus menjadi keunggulan kompetitifnya.


Di samping itu, kampus-kampus seperti UK Petra maupun UNISMA, dan UNMUH lebih terbuka dan siap dimasuki oleh mahasiswa dari berbagai kelompok agama lain. Tidak ada pewajiban memakai atribut keagamaannya.


Apalagi kalau dilihat lebih jauh persepsi “kampus islam” itu adalah persepsi yang spesifik dan khusus. Berbeda hal nya bila persepsi yang muncul adalah persepsi yang bersifat lebih umum, misal “kampus unggul” atau “kampus yang alumninya banyak yang sukses”.


Contoh didunia korporasi, bila kita mendengar kata Unilever maka dibenak kita adalah produk rumah tangga berkualitas, maka kita bisa lihat range produk yang dimiliki Unilever sangatlah luas dan beragam, mulai dari produk yang ada di meja makan, dapur, hingga toilet. Atau dulu kenapa Mandiri menghapus kata Bank didepannya, karena Mandiri tidak ingin dianggap sebagai bank saja, tapi ingin menjangkau semua produk keuangan dan investasi.


Jadi salah satu sarat sebuah institusi bisa melakukan diversifikasi produk yang baik adalah pertama, merubah citra khusus menjadi citra yang lebih umum, kedua, temukan competitive advantage, dan ketiga perluas jangkauan pasar.


Bagaimana dengan UIN?, mari kita bahas satu-satu.


Pertama, Citra UIN.

Sebagaimana dibahas diatas persepsi/citra UIN yang terlalu “islam” menyulitkan UIN untuk leluasa bermanuver dari sisi pengembangan produk. Karena itu yang perlu dilakukan adalah UIN perlu menciptakan citra “beyond islam”, citra yang lebih bersumber pada values (nilai-nilai) bukan pada atribut dan simbol-simbol.


Dalam marketing, positioning adalah kunci paling penting dari pemasaran. Masing-masing UIN harus memiliki differensiasi dan distingsi yang kokoh antara UIN satu dengan UIN lainnya.


Kedua, Competitive Advantage. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah apakah publik bisa membedakan keunggulan masing-masing UIN? Misal antara UIN Syarif Hidyatullah dengan UIN Sunan Ampel, antara UIN Sunan Kalijogo dengan UIN Sunan Gunung Jati. Atau publik menganggap sama saja UIN satu dengan UIN lainnya.


Keunggulan kompetitif UIN dibanding kampus-kampus yang lain adalah studi islam. Pertanyaannya adalah apakah ini cukup untuk menghadapi persaingan yang semakin ketat? Saya kira UIN perlu lebih menonjolkan keunggulan kompetif lain seperti research, sumber daya manusia, dan juga bidang keilmuwan lain yang lebih relevan dengan kebutuhan zaman.


Ketiga.

Target Pasar.

Seorang akademisi UIN mengatakan pada saya, selama mahasiswa UIN hanya berasal dari daerah di sekitar lokasi UIN maka selama itu pula UIN tidak akan mendapatkan pasokan mahasiswa yang berkualitas. Saya kira perkataan akademisi tersebut ada benarnya, artinya UIN tersebut belum menjadi destinasi pendidikan utama.


Karena itu UIN perlu memperluas jangkauan pasar, baik dari sisi geografi maupun demografi. Identifikasi target pasar, kolaborasi dengan dunia industri, roadshow ke sekolah-sekolah, dan juga membangun pola komunikasi kekinian, adalah cara-cara yang bisa dilakukan untuk memperluas jangkaun pasar.


Tiga strategi ini sebaiknya dilakukan secara simultan untuk menghasilkan dampak yang signifikan. Tentu tidak mudah dan penuh liku, tapi harus dilakukan untuk membawa UIN lebih unggul ditengah persaingan pendidikan tinggi yang semakin ketat. Dan sudah saatnya UIN memiliki Chief Marketing Officer.

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 03-05-2024 Jam: 09:51:25 | dilihat: 52 kali