Catatan Perjalanan: <br> MENGENAL PENDIDIKAN ISLAM DI MAROKO (2)




Catatan Lapangan (field note) Dr. Mastuki Kunjungan Ke Maroko

Pemerintah Kerajaan Maroko (Al-Mamlakah al-Maghribiyah) memiliki perhatian yang amat besar terhadap pendidikan agama Islam sesuai dengan latar belakang sejarah, budaya dan peradaban masyarakat Maroko. Keseriusan pemerintah Maroko (penulisannya: Maroc atau Morocco) tercermin pada penyelenggaraan pendidikan yang dikelola oleh dua kementerian, yakni Kementerian Waqaf/Kementerian Agama yang bertanggung jawab dalam pendidikan agama di madrasah dan pendidikan asli (al-ta’lim al-‘atiq). Pejabat Kementerian Agama ini diangkat langsung oleh Raja dan menempati gedung yang letaknya berada dalam kompleks istana Kerajaan. Kedua adalah Kementerian Pendidikan Nasional yang bertanggung jawab terhadap penyelenggaran sistem pendidikan secara nasional. Dalam hal pendidikan agama Islam, Kementerian ini hanya tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah (*Di Maroko nama sekolah tidak dibedakan dengan madrasah seperti di Indonesia. Karena keduanya disebut al-dirâsat atau al-ta’lîm. Namun kedua lembaga itu bisa dibedakan pada tekanan muatan kurikulum agamanya).

Penyelenggaraan pendidikan nasional Maroko berdasarkan pada konstitusi baru tahun 2011. Konstitusi ini menyebutkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan hukum Islam dan sumber lainnya. Tujuannya adalah “membentuk anak-anak Maroko yang bangga dengan identitas agama dan bangsanya”. Ponad Chafiqi, Direktur Pengembangan Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional Kerajaan Maroko di Rabat, yang ditemui rombongan ACDP menyatakan, “pendidikan nasional Maroko beralas-tumpu pada 4 (empat) asas, yaitu: 1) agama Islam yang toleran; 2) identitas sejarah peradaban bangsa Maroko/Maghribi; 3) peradaban yang merupakan perpaduan antara budaya Afrika, Eropa, Arab, Berber, serta konvensi internasional; dan 4) pendidikan kewarganegaraan”. Dengan keempat asas ini anak-anak Maroko diajarkan bagaimana beragama yang benar menurut madzhab yang dianut resmi, madzhab Maliki; bagaimana memahami budaya Maghribiyah; dan apa yang seharusnya dilakukan saat berinteraksi dengan sesama Muslim dan bergaul dengan penganut agama lain (meskipun sangat kecil).

Seperti disampaikan Ponad, mayoritas penduduk Negeri Seribu Benteng itu adalah muslim. “Hanya ada sekitar satu persen penduduk Maroko yang beragama Yahudi”, kata Ponad. Dalam hal beragama, penganut agama lain diberi kebebasan melaksanakan agamanya. Anak-anak mereka tidak dipaksa untuk mempelajari pendidikan agama Islam di sekolahnya. Anak-anak Yahudi punya hak untuk belajar dan tidak wajib ikut ujian agama Islam. Namun pemerintah (dalam hal ini sekolah) tidak menyediakan guru khusus untuk penganut agama lain. Mereka boleh mendirikan sekolah sendiri (sekolah keagamaan), tetapi harus tetap menggunakan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Ponad menyatakan, “Penganut Yahudi jumlahnya sekarang sekitar 2.000 orang di Casablanca. Mereka memiliki sekolah dengan kurikulum tersendiri dan tidak mengajarkan agama Islam“.

Salah satu keunikan pendidikan agama di negeri asal Thariq bin Ziyad ini adalah kurikulum dan bahan ajar pendidikan agama Islam di sekolah umum ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan Nasional setelah mendapatkan pengesahan (al-tash-hih atau al-tashdiq) dan penilaian dari Majelis Ilmi yang dipimpin langsung Raja Maroko. Seluruh anggota Majelis Ilmi ditunjuk oleh Raja yang berasal dari perwakilan majelis ulama pusat, ketua majelis ulama daerah, dan ulama’ Qarawiyyun, serta kelompok profesi. Lisensi dari Majelis ini sangat ampuh karena ia dapat menerima, menolak atau meminta agar kurikulum/bahan ajar agama Islam di sekolah tersebut direvisi jika tidak sesuai dengan garis konstitusi atau madzhab resmi Maliki. Di tangan Majelis ini nasib pendidikan nasional ditentukan dan ketok palu. Kedudukan mereka lebih tinggi dari Kementerian Pendidikan. Lembaga yang mirip Majelis Tinggi Pendidikan Nasional ini bertugas untuk menetapkan garis-garis besar pendidikan nasional untuk sekolah umum maupu n sekolah agama di Kemenerian Awqaf. Secara regular setiap 5 sampai 10 tahun kurikulum pendidikan nasional ditinjau kembali, dan jika diperlukan direvisi total.

Berkenaan dengan buku pendidikan agama Islam yang diajarkan di sekolah, Maroko menganut prinsip ‘proof by government’. Artinya, buku ajar agama bisa dan boleh ditulis oleh siapapun, namun sebelum buku tersebut ditetapkan sebagai maraji’ harus terlebih dahulu mendapat pengesahan panitia khusus yang disebut Majelis al-A’la lit-Ta’lim. Pengesahan ini untuk menjamin bahwa materi pembelajaran agama Islam di seluruh sekolah adalah sama, terstandar, dan tidak boleh keluar dari faham keagamaan mainstream kerajaan. Pengesahan ini dapat diartikan sebagai sikap kehati-hatian pemerintah Maroko atau ‘intervensi’ tergantung dari mana perspektifnya. Bagi pemerintah, menjaga otentisitas dan orisinalitas dalam bermazhab Maliki tampaknya tidak bisa ditawar. Kedudukan Majelis Ulama dengan begitu amat sentral dan hampir menjadi avant-garde, garda terdepan dalam menjaga legitimasi kekuasaan dan keagamaan sekaligus.

Buku-buku pelajaran agama yang telah mendapatkan ‘stempel’ itu kemudian dicetak oleh penerbit yang juga harus mengantongi ijin/pengesahan dari Majelis. Baru setelah itu buku tersebut dinyatakan ‘layak terbit’ dan ‘layak pakai’ untuk seluruh sekolah di seantero Maghribi. Meski buku pelajaran itu bisa banyak, dan tiap muqatha’ah (setingkat desa/kampung) bisa punya buku yang disusun oleh guru/ulama’, semua murid sekolah mendapat pelajaran agama yang sama, di berbagai tingkat, dengan kajian yang juga relatif homogen. Penyebaran faham keagamaan melalui buku pelajaran agama ini, sekali lagi, menjadi isu krusial yang menarik untuk diteliti karena kesalingterkaitan dengan ideologi atau faham keagamaan dominan dengan relasi kekuasaan yang saling membutuhkan satu sama lain. Pengawasan terhadap peredaran buku pelajaran agama Islam yang dilakukan oleh aparat pemerintah bersinergi dengan aparat keagamaan ini sangat efektif menjaga hegemoni kekuasaan atas agama atau legitimasi agama atas kekuasaan. Dua entitas yang sejak lama dalam sejarah kekuasaan Islam terjadi pasang surut yang sangat dinamis.

Buku pelajaran agama Islam tidak berdiri sendiri. Ia memuat topik-topik bahasan yang tersusun dan harus diajarkan di sekolah. Melalui topik atau bahasan ini agama Islam dikenalkan secara sistematik oleh guru kepada murid. Aspek akidah, ibadah, maupun muamalah dibahas dalam buku agama Islam, di samping pokok bahasan tentang etika Islam, menegakkan sifat kemanusiaan dan kemasyarakatan, ilmu dan akal dalam Islam, hak-hak asasi manusia dalam Islam, toleransi dalam Islam (al-tasamuh fi al-Islam), kerjasama dalam Islam, bekerja dalam Islam, menciptakan kemaslahatan umum dalam Islam, dan pendidikan kemasyarakatan dalam Islam.

Guru agama menjadi faktor penting dalam pendidikan agama Islam ini. Dengan buku pelajaran yang telah tersusun sedemikian rupa, guru bertugas mengajarkan materi itu kepada murid. Guru agama di sekolah negeri diangkat oleh Kementerian Pendidikan Nasional, sedangkan di sekolah swasta diangkat sendiri oleh Mu’assasah. Guru di Maroko umumnya bukan tamatan sekolah keguruan, melainkan tamatan dari universitas umum untuk guru umum, dan tamatan fakultas dirasat islamiyah untuk guru agama. Melalui seleksi yang ketat, calon guru agama itu kemudian dilatih selama satu tahun untuk mendalami metode pembelajaran. Yang penting dicatat di sini adalah kriteria khusus untuk dapat diangkat menjadi guru agama, yaitu menguasai ilmu yang akan diajarkan dan memiliki kepribadian dan akhlak sebagai uswatun hasanah. Semua guru, baik negeri maupun swasta wajib menerapkan kurikulum nasional. Apa artinya? Di tangan guru, dengan buku pelajaran yang terstandar dan materi pelajaran yang relatif sama, seluruh muatan kurikulum yang ditetapkan pemerintah dapat dipastikan akan terlaksana dengan baik. Ruang inovasi dan improvisasi guru kalau pun ada –seperti kami saksikan di Madrasah Tsanawi Maula Yusuf (negeri) dan Blaise Pascal (swasta)-- bukan pada materi pelajaran, tetapi pada pengayaan melalui penjelasan atau tugas-tugas terstruktur kepada murid. Lagi-lagi, dalam konteks kepentingan menjaga hegemoni ideologi dan faham keagamaan di Maroko, cara-cara seperti ini terbukti efektif.** [Mastuki, Rabat 31/10 ]

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 04-11-2013 Jam: 10:14:40 | dilihat: 18553 kali