Catatan Perjalanan: <br> MODEL PENDIDIKAN CALON GURU DI MAROKO (3)




Catatan Lapangan (field note) Dr. Mastuki.

Salah satu target yang hendak dicapai dari kunjungan tim peneliti ACDP (Analitical and Capacity Development Partnership) Indonesia, project yang dibiayai bersama European Union dan AusAID, ke Maroko adalah melihat best practice model pendidikan calon guru agama melalui (dalam konteks Indonesia) LPTK (Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan) atau Fakultas Pendidikan/Tarbiyah. Pada saat wawancara dengan pihak Kementerian Pendidikan Nasional sesungguhnya tidak ada informasi yang spesifik berkenaan dengan pendidikan calon guru di negeri ujung Afrika ini. Karena Maroko tidak memiliki lembaga yang secara khusus mencetak calon tenaga guru agama. Guru agama di madrasah (al-ta’lîm al-athîq) adalah para ulama’/ustadz yang ada di masyarakat dan memiliki kemahiran atau kedalaman ilmu agama. Pemerintah/Kerajaan mengakui keahlian ilmu para ulama’ tersebut sehingga tidak merasa perlu mengangkat atau mempersiapkan calon guru agama. Namun dalam perkembangannya, ada pemikiran untuk memperbaiki kualitas guru dikarenakan guru agama yang telah lama mengajar di madrasah itu belum memiliki dasar-dasar mengajar. Karena itu pemerintah membantu mereka mengambangkan kemampuan pada aspek metodologi, ilmu mengajar, dan menggunakan sumber-sumber pembelajaran.

Begitu juga guru-guru agama yang mengajar di sekolah umum (milik pemerintah maupun swasta) tidak berasal dari lembaga pendidikan guru, melainkan diangkat melalui seleksi yang dilakukan setelah mereka mengikuti pelatihan guru selama 1 (satu) tahun. Raw-inputnya sangat memadai, yakni guru-guru agama/ustadz di madrasah dan/atau lulusan perguruan tinggi manapun di Maroko. Bagi calon guru agama, umumnya mereka berasal dari perguruan tinggi yang memiliki fakultas/jurusan Dirasat Islamiyah. Persyaratan utama calon guru agama adalah aspek kepribadian. Jika persyaratan ini mencukupi, mereka memiliki peluang setelah mengikuti penyaringan/pelatihan selama setahun. Pada pelatihan ini ada 4 tahapan yang dilaksanakan secara terarah, yakni :

a) penguatan strategi mengajar. Calon guru agama dilatih untuk mempelajari pedagogik. Strategi ini berbeda-beda tergantung pada materi/mapel yang akan diajarkan;

b) teori dan praktek mengajar. Pada tahap ini peserta dilatih mengajar dalam bentuk micro teaching maupun real teaching (mengajar di kelas yang sesungguhnya di sekolah)

c) mengevaluasi hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan di kelas riil. Pada komponen ini peserta diberikan standar evaluasi;

d) perbaikan pembelajaran.

Rekruitmen calon guru model seperti ini terkesan unik. Pemerintah dan pihak sekolah di Maroko akan mendapatkan guru dengan kualitas sangat baik, memiliki keahlian keilmuan (kompetensi akademik) yang unggul, kemampuan memberikan pelajaran (kompetensi pedagogic, teaching and learning skills atau pedagogic skills) yang baik, dan berkepribadian baik; syarat yang tidak bisa ditawar sebagai guru agama. Dengan cara ini, pemerintah Kerajaan Maroko tidak merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang secara khusus mencetak tenaga guru semacam LPTK, melainkan hanya lembaga pelatihan bagi calon guru yang disebut Al-Markaz al-Takwin al-Mihany.

Ketua Peneliti ACDP, Prof. Dr. Abuddin Nata ketika pemaparan hasil awal penelitian di KBRI Rabat menegaskan bahwa kebijakan Kementerian Pendidikan Nasional Kerajaan Maroko yang tidak membangun lembaga pendidikan (Perguruan Tinggi) yang secara khusus mencetak tenaga guru semacam LPTK, dan menempuh cara dengan menggunakan lulusan terbaik perguruan tinggi yang berminat menjadi guru dengan terlebih dahulu melatihnya selama satu tahun merupakan cara yang cukup praktis dan efisien, serta merupakan kecenderungan yang umumnya banyak ditempuh oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Menurut Abuddin, program Pendidikan Profesi Keguruan (PPG) yang ditetapkan Pemerintah Indonesia melalui PP No. 27 Tahun 2011 yang antara lain membolehkan lulusan non keguruan (LPTK) untuk menjadi guru, menggambarkan bahwa peluang untuk menjadi guru bukan hanya menjadi monopoli lulusan LPTK saja, melainkan juga menjadi hak bagi lulusan non keguruan. “Kebijakan PPG ini menegaskan bahwa lulusan LPTK di Indonesia tidak dapat secara otomatis menjadi guru, melainkan harus menempuh PPG terlebih dahulu”, katanya menekankan.

Kebijakan membuka peluang bagi lulusan non-keguruan sangat masuk akal mengingat lulusan fakultas keguruan/LPTK sekarang ini belum mencerminkan keahlian dan sikap yang secara spesifik memperlihatkan sebagai calon guru. “Lulusan keguruan dan non-keguruan hampir sama saja”, tegas guru besar UIN Jakarta ini, sembari menambahkan, “walaupun lulusan keguruan/LPTK menerima ilmu-ilmu keguruan, namun sifatnya lebih bersifat kognitif-akademik yang sesungguhnya juga bisa dikuasai oleh lulusan non-keguruan. Sedangkan dari segi pengalaman dan kemampuan serta kepiawaian menyampaikan dan melaksanakan proses pembelajaran di kelas, lulusan non keguruan yang sudah diberikan latihan, orientasi dan pengarahan secara singkat tentang keguruan tidak akan kalah dengan lulusan fakultas keguruan”.

ACDP yang mengutus peneliti ke Maghribi dapat mempelajari model pendidikan calon guru ini sebagai benchmarking. Karena pola rekruitmen semacam ini, meski dengan cara berbeda, telah dilakukan sekolah-sekolah unggulan di Jakarta dan daerah lain yang merekrut guru bidang studi umum yang berasal dari lulusan perguruan tinggi non keguruan yang unggul, seperti lulusan UI, UGM, ITB, IPB dan berbagai perguruan tinggi papan atas lainnya. Hal yang demikian dimungkinkan, karena tamatan perguruan tinggi non-keguruan papan atas itu, pada dasarnya adalah bibit unggul dan orang-orang pilihan dan cerdas yang secara kapasitas kecerdasan intelektual, kemampuan akademik, kemampuan bahasa dan lainnya, jelas lebih unggul dibandingkan dengan umumnya lulusan LPTK Keagamaan. Lulusan non keguruan dari perguruan tinggi papan atas itu, menurut Abuddin Nata, diyakini lebih menguasai bidang keilmuan yang akan diajarkannya, dan akan lebih berhasil dalam mengajar setelah mereka diberikan pelatihan tentang teori dan praktek mengajar dan membelajarkan (teaching and learning skills).

Mempertimbangkan best practice kebijakan pemerintah Kerajaan Maroko mengangkat guru lulusan fakultas non keguruan yang terlebih dahulu diberikan pelatihan satu tahun, secara teoris dan empiris menjadi bahan perbandingan yang menarik. Namun demikian, ini tidak berarti lulusan fakultas keguruan/LPTK tidak mampu bersaing dengan lulusan fakultas non keguruan perguruan tinggi papan atas yang dilatih menjadi guru tersebut. Lulusan fakultas keguruan/LPTK akan mampu menghasilkan calon guru yang unggul jika PPG pada LPTK direformasi secara total dan dilaksanakan secara konsisten.

Paparan awal hasil penelitian dari “Tim Maroko” merekomendasikan reformasi LPTK harus dimulai dengan menetapkan visi, misi dan tujuan yang secara spesifik diarahkan untuk menghasikan guru yang unggul. Keunggulan itu tercermin dalam pola penerimaan calon mahasiswa LPTK bibit unggul, misalnya untuk guru agama, sudah hafal al-Qur’an minimal 10 Juz, dapat membaca dan memahami literatur berbahasa asing (Arab dan Inggris), dapat berbicara dalam bahasa asing dengan fasih, memiliki panggilan jiwa untuk jadi guru, memiliki kecerdasan (kejeniusan yang tinggi), berkarakter bawaan sebagai orang yang shalih individual dan shalih sosial yang dibuktikan dengan hasil psikotes, observasi dan referensi yang kredibel; proses pendidikan dan pelatihan guru oleh LPTK yang profesional dan memiliki komitmen yang tinggi ditopang berbagai komponen pendidikan yang lengkap (dosen yang berpengalaman, ahli dalam bidangnya dan memiliki komitmen yang tinggi, laboratorium micro teaching dan sistemnya yang lengkap dan modern, lab-school sendiri, asrama pelatihan dan sebagainya yang berstandar tinggi, dan dilaksanakan secara konsisten).

Lembaga pelatihan calon guru yang dilaksanakan Kementerian Pendidikan Nasional Kerajaan Maroko belum secara jelas mengemukakan berbagai hal yang terkait dengan pelatihan tenaga calon guru tersebut. Namun satu hal yang menjadi inspirasi dari Tim bahwa model pelatihan demikian itu telah terbukti efektif dan menghasilkan guru agama yang baik. Akankah pola PPG yang sedang dilaksanakan di Indonesia itu akan menghasilkan guru yang unggul, sepertinya masih banyak PR yang harus dikerjakan. [Mastuki, Rabat, 1/11/13]

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 04-11-2013 Jam: 10:19:57 | dilihat: 1886 kali