Dosen PTAIN dan “Ancaman” Legalitas ijazah (Bagian 1)




A. Rafiq Zainul Mun’im*

Dalam Workshop Evaluasi Beban Kerja Dosen (BKD) yang dilaksanakan di Jakarta (19-21/05) lalu muncul beberapa isu menarik yang menggelisahkan para dosen PTAI. Kendati isu tersebut tidak berkaitan langsung dengan tema workshop yang sedang diadakan, namun hal itu senantiasa hangat diperbincangkan. Isu tersebut berkenaan dengan legalitas Ijazah dan kepegawaian dosen PTAIN.

Rawan Temuan dan Penyelewengan

Awal mula mencuatnya isu ini adalah dari penuturan Dr. Ishom Yusqi dalam sesi pertama dari kegiatan tersebut, bahwa berdasarkan hasil konsultasi dengan inspektorat/auditor Kemenag ada beberapa isu yang menarik untuk dikemukakan, terutama berkenaan dengan status SDM (baca: dosen) PTAIN. Pertama, syarat sertifkasi dosen untuk bisa mendapatkan tunjangan tersebut adalah memiliki pendidikan minimalnya strata dua (S2/magister). Tetapi dalam temuan di lapangan, nyatanya terdapat dosen yang memiliki Ijazah S2, tetapi pendidikan terakhirnya di SK Pengangkatannya hanya tertulis Sarjana (S1). Begitupula yang terjadi dengan beberapa Profesor PTAIN yang telah secara sah dan nyata mendapatkan PAK dan SK Profesornya dari DIKTI dan Kemendikbud karena reputasi karyanya yang menggembirakan dan ditunjang dengan pendidikan terkhirnya yang harus S3 atau bergelar Doktor/Ph.D. Ketika pengajuan SK kepangkatannya melalui Biro Kepegawaian Kemenag untuk diteruskan di BKN,ternyata secara teknis BKN tidak menulis pendidikan terakhirnya dengan Strata Tiga (S3/Doktoral), sehingga SK dari Biro kepegawaian atau dari Sekretaris Negara tidak mencantumkan gelar S3-nya, maka hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan terakhirnya secara kedinasan tidak bisa diakui oleh Negara.

Kedua, perihal para pejabat dan pimpinan PTAIN yang saat ini sedang menjabat, baik menjadi Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan di UIN dan IAIN, yang persyaratannya harus memenuhi kaidah PMA Nomor 45 Tahun 2006, atau Ketua dan Wakil Ketua di STAIN, yaitu harus bergelar Doktor dan minimal Lektor Kepala bagi Rektor, Dekan UIN dan Ketua STAIN, atau S2 dengan Jabatan Akademik minimal Lektor Kepala bagi Wakil Rektor, Dekan IAIN, Wakil Dekan,Wakil Ketua, atau bergelar Doktor dengan jabatan akademik minimal Lektor bagi Wakil Rektor, Dekan IAIN, Wakil Dekan,Wakil Ketua. Nyatanya, dalam investigasi dengan pola pengambilan sampel di beberapa PTAIN, ditemukan bahwa beberapa pimpinan PTAIN memiliki ijazah pendidikan terakhir (yang menurut persetujuan senat telah memenuhi syarat dari PMA tersebut) belum terintegral dengan SK kepangkatan terakhirnya, yang membuktikan bahwa ijazahnya belum mendapatkan legalitas secara teknis dari BKN, sehingga secara kedinasan ijazahnya patut dipertanyakan dan bisa menjadi sebuah “temuan”.

Efek Domino Ijazah

Tidak tercantumnya gelar pendidikan terakhir dalam SK kepangkatan/golongan terakhir, menunjukkan bahwa ijazah yang didapat belum mendapatkan persetujuan teknis dari BKN yang telah memverifikasi data setiap dosen untuk jenjang kepangkatannya. Apabila ijazah S2 bagi peserta Sertifikasi Dosen atau bagi Dosen yang telah tersertifikasi belum diakui secara kedinasan oleh BKN dan tidak terintegral dalam SK kepangkatannya, maka keabsahan status S2-nya tidak bisa dibenarkan dan menjadi permasalahan serius dalam proses pembayaran tunjangan sertifikasi dosen, dan ini menjadi sebuah temuan. Begitu halnya bagi professor yang telah mendapatkan tunjangan kehormatannya karena reputasi jabatan akademik tertinggi tersebut, juga akan menjadi “temuan” nantinya bagi auditor ketika melakukan investigasi karena gelar akademik terakhirnya dapat dinyatakan “cacat hukum.” Ijazahnya tidak diakui secara kedinasan, sehingga syarat Profesor yang harus memiliki gelar Doktor belum terpenuhi.

Hal serupa “mungkin nantinya” juga akan diterapkan kepada para pimpinan PTAIN, yang menurut auditor, ijazah mereka tidak diakui secara kedinasan oleh Negara karena tidak terintegrasi dalam SK kepangkatan, atau memang belum diajukan untuk penyesuaian ijazahnya, tetapi tidak bisa menunjukkan bukti SK Tugas/Izin belajarnya. Apabila ada pimpinan PTAIN yang terindikasi sebagaimana hal tersebut, maka jabatan yang diamanatkan bisa menjadi permasalahan.

Kaidah “ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahua wajib” patut menjadi perhatian serius bagi para dosen dalam permasalahan ini. Karena dengan tidak disetujuinya gelar terakhir secara teknis oleh BKN atau tidak terakomodirnya gelar terakhir tersebut dalam SK kepangkatan/golongan dosen PTAIN, atau ketika melacak data pribadi PNS melalui laman www.bkn.go.id dengan hanya menulis NIP setiap dosen, ternyata pendidikan terakhirnya hanya tercantum S1 bagi dosen yang tersertifikasi, atau hanya tercantum S2 bagi dosen yang bergelar Profesor/Guru Besar dan Pimpinan PTAIN, yang intinya bahwa gelar akademik yang diakui secara kedinasan belum memenuhi persyaratan dari peraturan yang ada, maka status dosen profesionalnya, Guru Besar/Profesornya, jabatan Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Ketua, dan Wakil Ketuanya menjadi permasalahan dan tidak sesuai dengan regulasi yang ada.

Apabila gelar pendidikan akademik tidak sesuai dengan regulasi yang ada, akan mudah menyatakannya sebagai “temuan” dan bahkan sebagai bentuk “penyimpangan.” Apapun alasan yang disampaikan dalam berita acara temuan tersebut, inti yang bisa ditangkap nantinya adalah bahwa dosen PTAIN yang teridentifikasi “bermasalah” harus mengembalikan tunjangan sertifikasinya, tunjangan kehormatannya sebagai Profesor/Guru Besar, tunjangan jabatannya sebagai Rektor, Wakil Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Ketua, Wakil Ketua, yang sudah diterimanya setiap bulan selama beberapa tahun terakhir. Belum lagi, apabila nantinya permasalahan tersebut ditarik-tarik kepada keabsahan tanda-tangan pimpinan PTAIN, maka ibarat benang yang terlihat makin kusut. []

*Penulis adalah Staf/Pelaksana pada Subdit Ketenagaan DIKTIS. Tulisan ini tidak bisa dijadikan referensi kebijakan, karena bersifat refleksi pribadi semata

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 21-05-2014 Jam: 12:53:43 | dilihat: 7232 kali