JANGAN MELUPAKAN MAIN MANDATE!!




By Anis Masykhur*

Maraknya pengajuan perubahan bentuk (alih status) di lingkungan PTAIN dari Sekolah Tinggi ke Institut dan dari Institut ke Unversitas selain patut diapresiasi, namun juga patut dicermati. Agar tidak salah arah, PTAI perlu diingatkan kembali tentang "desain" awal "main mandate" (mandat utama) dan wider mandate(perluasan mandat).

Hingga tulisan ini ditulis, saya belum melakukan pelacakan secara akademik, siapa yang pertama kali menggulirkan wider mandate ini. Prediksi saya, wider mandate digulirkan ketika Kemenag (saat itu Departemen Agama) mengizinkan pembukaan prodi tadris--sebutan lain untuk kata pendidikan--untuk bidang ilmu pendidikan mapel umum seperti tadris biologi, tadris bahasa Inggris, tadris bahasa Indonesia dan lain sebagainya.

Menarik ketika berdiskusi dengan Dr. Toto Bintoro, M.Pd, Dosen pada Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga menjabat Ketua Tim PPG Kemdikbud, mengeluhkan bahwa perguruan tinggi yang berubah nama menjadi universitas (tampaknya) melupakan main mandate-nya. Sebenarnya, tema yang dibicarakan tidak terkait dengan agenda rapat saat itu, tentang PPG. "Keluhan" ini patut dicermati karena hal yang sama tampaknya juga terjadi pada PTAIN. Istilah main mandate dan wider mandate dimunculkan saat itu karena perguruan tinggi dengan kewenangan yang ada dirasa sudah tidak mampu lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan krusial dan tidak dapat menjangkaunya. Perubahan IKIP menjadi Universitas ditujukan agar IKIP tidak kehilangan substansi keilmuwan yang selama ini hanya berkecimpung pada sisi pedagogiknya saja. Jadi main mandate Universitas yang pada awalnya IKIP adalah sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Pembukaan prodi-prodi keilmuan di luar "ilmu pendidikan" agar IKIP tidak kehilangan "ilmu"nya.

Sama halnya dengan PTAIN, yang main mandate-nya--saya ingatkan kembali--adalah bidang keagamaan. Perubahan IAIN ke Universitas jangan sampai menyerupai apa yang dikeluhkan Totok. Memang, program studi yang merupakan kewenangan IAIN dipandang tidak mampu menjawab permasalahan yang mengemukakan di tengah masyarakat. Maka dari itu, penambahan fakultas-fakultas baru--tentunya diikuti juga dengan pembukaan prodi baru--bukan sekedar untuk memperbesar jumlah mahasiswa PTAI. Jauh lebih mulia dari sekedar menambah jumlah mahasiwa, yakni agar memberikan warna terhadap kajian-kajian keagamaan. Dengan demikian pemahaman konsep keagamaan bisa dituntaskan dengan pendekatan atau perspektif di "luar keagamaan." Sebagai contoh Universitas Islam baru agar menyelenggarakan program studi--misalnya--anthropologi untuk memperkuat perspektif proses tasyri’-nya. Maka dengannya UIN akan mampu menghasilkan produk pemikiran yang komprehensif (kaffah). Agama menjadi tidak dipahami dengan perspektif parsial.

Melupakan Main Mandate

Tahun 2013 merupakan tahun terbesar dalam sejarah pengajuan alih status atau perubahan bentuk dari IAIN ke UIN. IAIN yang sudah merasa tua mengajukan perubahan bentuk dengan mengajukan program studi yang kadang jika dicermati dengan perspektif main mandate tidak berkaitan. Argumen yang dibangun pun kurang mencerminkan visi main mandate. Meskipun hal demikian tidak juga bisa disalahkan. Pembukaan fakultas kedokteran misalnya, tidak berhubungan dengan desain awal, karena yang menjadi pertanyaannya adalah mendukung prodi keagamaan yang mana dari main mandate? Meskipun demikian, ternyata argumen yang dikemukakan malah menjadi lebih argumentatif karena alasan yang dikemukakan adalah kebutuhan masyarakat muslim yang seyogyanya diproduk dari institusi keislaman. Ya... logis juga. Karena kenyataannya adalah itu realita kebutuhan masyarakat.

Hal yang sama dengan penyelenggaraan bidang ilmu sain dan teknologi. Wider mandate diharapkan ada pengayaan dan pendalaman terhadap kajian keislaman yang cenderung "sekuler". Keberadaan bidang ilmu di luar keislaman diharapkan mampu mengkombinasikan pertemuan dua ilmu yang selama ini dipisahkan oleh sejarah. Namun terus terang, pembukaan prodi saintek ini tidak bersentuhan dengan desain awal kebijakan wider mandate. Namun demikian, PTAIN sangat diuntungkan dengan perluasan kewenangan ini--meski tidak berkaitan--yang melampauinya, karena kajian tentang sain dan teknologi atas teks suci di lingkungan instiusi keislaman menjadi terbuka. Nah, keuntungannya adalah kita didorong tidak akan berapologi lagi, karena sudah mempunyai peneliti dan akademisi sendiri di bidang sains Tidak seperti saat ini, yang sedikit-sedikit diungkapkan "sesuai dengan Islam" atau "sudah ada dalam Islam". Maka, wajar jika salah satu persyaratan utama Alih status atau perubahan nama harus diikuti dengan integrasi keilmuan.

Integrasi tidak Sekedar Penggabungan

Dalam beberapa kesempatan, integrasi keilmuan sering dimaknai dengan penambahan mata kuliah keislaman pada fakultas atau prodi umum. Memang integrasi dimaknai seperti itu tidak salah seratus persen. Namun pemahaman yang demikian akan membebani mahasiswa dengan bertambahnya SKS yang harus ditempuh. Tentu ini menjadi tidak produktif.

Penyelenggara PTAIN yang dapat perluasan mandat juga harus memahami, bahwa perubahan bentuk ke UIN bukanlah dimaknai dengan mahasiswa--misalnya--saintek yang hafal isi kitab Suci, atau mahasiswa kedokteran yang hafal Al-Quran, tanpa mengetahui keterkaitan antara yang dihafal dengan ilmu yang dipelajarinya. Bukan pula harus dimaknai dengan penambahan mata kuliah keagamaan di dalam struktur mata kuliah prodinya. Meski yang demikian itu juga tidak bisa disalahkan. Jauh lebih dalam dari hal itu. Jika hal demikian yang terjadi, desain integrasi keilmuan berarti belum terumuskan dengan baik.

Integrasi ilmu diharapkan bisa menjadikan ilmu menjadi sesuatu sakral, bukan profan. Orang berilmu mampu menghadirkan dirinya untuk senantiasa berperilaku sesuai dengan hakikat ilmu dan keislamannya. Lebih jauh dari itu, prinsip integrasi dimaksudkan menemukan kembali mata rantai sejarah keilmuan yang ter(di)putus. Seperi contoh tentang substansi hukum KUHPerd (wetbook) dipandang sekuler karena produk Belanda. Dr. Rumnessa, salah satu hakim Agung saat itu pernah menyatakan bahwa Wetbook Belanda diyakini diinspirasi oleh spirit Islam. Nalar saya kemudian menggiring kepada asal usul peraturan perundang-undangan zaman itu. kita perlu mencurigai bahwa KUHPErdt terinspirasi dari perundangan yang telah diproduk khilafah Islamiyah Turki. Menurut Rum, KUHPerd disinyalir menjiplak code civil Perancis. Ingat, ketika Perancis menjadi negara besar pada zaman itu pernah menjajah Mesir yang saat itu berada di wilayah khilafah Turki Utsmani. Penjajahan inilah yang memunculkan dugaan bahwa Perancis mengadopsi perundangan dari negri Muslim.

Berharap Kemunculan Sain dari Al-Quran

Memang peluang untuk menggali Al-Quran sebagai sumber inspirasi keilmuan dalam Islam menjadi terbuka setelah IAIN berubah bentuk menjadi UIN. Pertanyaannya, mampukah para mahasiswa mampu memenuhi tuntutan yang demikian itu? Mengingat kemampuan baca Al-Quran saja--berdasarkan pemaparan salah satu STAIN-- sebanyak dalam kisaran 40% input PTAIN tidak bisa membacanya, apalagi tahu maknanya. Apalagi di UIN yang inputnya diyakini lulusan non pesantren dan madrasah menjadi makin besar. Bagaimana para mahasiswa ini akan dapat memenuhi impian. Inilah yang dikhawatirkan beberapa kalangan perubahan bentuk menjadi Universitas tidak sesuai dengan yang diimpikan selama ini. Namun demikian, kelemahan ini sekaligus menjadi peluang sekaligus tantangan pengembangan Universitas ke depan.

*) Kasi Pembinaan Kelembagaan Subdit Kelembagaan. Yang terungkap di tulisan di atas adalah pendapat pribadi dengan tetap berpijak pada data-data yang ada seperti bahan pidato Menteri Agama dan Dirjen Pendidikan Islam.

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 25-01-2014 Jam: 03:14:19 | dilihat: 3266 kali