Krisis Ruang Kuliah di PTAIN Potensi “Tsunami” Masalah




Oleh; Papay Supriatna, SS*

Memperoleh pendidikan adalah hak semua warga Negara Indonesia. Mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Pemerataan akses pendidikan menjadi salah satu prioritas yang tercantum dalam rencana strategis Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang sedikit demi sedikit sudah mulai menunjukkan hasil. Namun hal tersebut masih berjalan lambat, karena animo masyarakat terhadap Pendidikan Islam menunjukan trend peningkatan yang cukup signifikan. Dari data yang dikeluarkan Subdit Akademik, Direktorat Pendidikan Tinggi Islam ditemukan bahwa ada lebih dari 148.839 calon mahasiswa yang mendaftarkan diri untuk masuk di Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN). Dikarenakan keterbatasan lokal belajar, PTAIN hanya mampu menerima 97.678 mahasiswa saja. Direktur Pendidikan Tinggi Islam, Prof. Dr. Dede Rosyada, MA dalam acara Peningkatan Kemampuan Layanan Administrasi DIKTIS (26/5) di Hotel Mercure Padang pernah mengungkapkan bahwa saat ini PTAIN masih kekurangan sekitar 3.000 ruang kuliah. Ini menunjukkan krisis ruang kuliah di PTAIN perlu penanganan yang cepat dan serius.

Potensi “Tsunami” Masalah

Setidaknya ada 3 hal yang menurut penulis dapat menjadi masalah jika krisis ruang kuliah tidak mendapatkan perhatian lebih dan treatment khusus dari para pemegang kebijakan.

Pertama, kekurangan ruang kuliah adalah sebuah fakta yang terjadi di banyak PTAIN. Pertanyaannya kemudian seberapa jauh usaha para pemangku kebijakan baik di pusat maupun daerah –dalam hal ini DIKTIS dan Pimpinan PTAIN – untuk mengatasi krisis tersebut. Jika Direktur DIKTIS sudah merencanakan pembangunan ruang kuliah baru untuk PTAIN di mulai pada tahun angaran 2015 nanti, apakah kebijakan tersebut sudah otomatis diamini oleh pimpinan PTAIN. Oleh karena itu menjadi benar penyataan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA yang mengatakan bahwa diperlukan will yang kuat dari semua pihak untuk mengatasi permasalahan ini. Krisis ruang kuliah akan semakin bertambah besar jika tidak ada penambahan ruang kuliah yang bersifat massif. Masalah ini akan mempengaruhi kualitas pendidikan tinggi kedepan dan ini yang penulis sinyalir menjadi potensi “tsunami” masalah yang akan menambah panjang daftar permasalahan yang ada di PTAIN.

Kedua, mungkin peribahasa, dimana ada gula disana ada semut, sangat tepat jika kita gunakan ketika membahas anggaran besar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa orang akan berdatangan untuk menikmati “kue” anggaran yang nantinya ada di DIPA PTAIN untuk penambahan ruang kuliah baru. Banyak kasus yang belakangan terkuat karena adanya “main mata” antara pihak ketiga dengan para pejabat pengadaan lelang sampai pada level pimpinan tertingginya, sebut saja misalnya kasus proyek hambalang dan lain sebagainya. Disini penulis melihat ada potensi “tsunami” masalah yang lebih besar jika para pimpinan tidak memiliki komitmen yang kuat dan tingkat kehati-hatian yang yang tinggi terhadap proses pelelangan nanti. Maka sekali lagi benar kata Direktur DIKTIS, pada prinsinya Kita tidak perlu takut dalam pengelolaan dan penggunaan keuangan Negara selama kita mengikuti aturan dan tidak berbuat ‘nakal’.

Ketiga, masalah yang terakhir merupakan masalah klasik yang dimiliki oleh beberapa PTAIN. Yakni masalah Sumber Daya Manusia (SDM). Ketika anggaran penambahan ruang kuliah sudah disetujui dan sudah masuk ke dalam DIPA masing-masing PTAIN. Pertanyaannya kemudian adalah apakah SDM yang akan mengeksekusi anggaran tersebut sudah siap atau belum. Syarat mutlak yang harus dimiliki untuk melakukan proses lelang adalah memiliki sertifikat lelang yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah ditunjuk oleh undang-undang tentang pengadaan barang dan jasa pada instansi pemerintah. Pertanyaan selanjutnya adalah berapa banyak pegawai di PTAIN yang memiliki sertifikat tersebut dan sejauh mana kesiapan mereka melaksanakan proses pelelangan. Tidak sedikit dari pegawai yang telah memiliki sertifikat tidak bersedia ditunjuk sebagai panitia lelang dengan berbagai alasan. Jika masalah SDM ini tidak mendapat perhatian maka perjuangan memperoleh anggaran guna penambahan ruang kuliah baru tidak akan berarti apa-apa, bahkan menimbulkan masalah baru yakni ketidakmampuan satker dalam menyerap anggaran.

Solusi yang ditawarkan

Hemat penulis, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dan pimpinan PTAIN untuk mengatasi krisis ruang kuliah ini:

Pertama, melakukan mapping permasalahan tentunya didukung dengan data dengan tingkat akurasi yang tinggi. PTAIN mana saja yang membutuhkan ruang kuliah baru, dan kondisi SDMnya. Setelah itu DIKTIS dengan instansi terkait lainnya dapat merencanakan dengan baik berapa anggaran yang dibutuhkan base on realita yang ada di masing-masing PTAIN.

Kedua, Diktis dan pimpinan PTAIN bersama – sama berkomitmen menjadikan anggaran tersebut dipergunakan hanya untuk penambahan ruang kuliah baru. Hal ini perlu dilakukan agar Pimpinan PTAIN tidak “latah" merevisi anggaran tersebut untuk hal lain.

Ketiga, Monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengadaan ruang kuliah baru di masing-masing PTAIN, sehingga DIKTIS dan pimpinan PTAIN memiliki progress report pelaksanaan kegiatan ini.

*Penulis adalah staf pelaksana pada subdit Sarana Prasarana dan Kemahasiswaan DIKTIS, tulisan ini hanyalah urun rembug mencari solusi permasalahan sarpras di PTAI.

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 27-05-2014 Jam: 08:49:58 | dilihat: 3262 kali