Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban




Istanbul menyimpan khazanah agung peradaban manusia dari Kerajaan Roma Byzantium, Konstantinopel, Khilafah Turki Utsmaniyah hingga abad Turki Modern. Sisa-sisa kejayaan dan peradaban itu masih dapat disaksikan oleh generasi hari ini. Aya Sofia atau Hagha Sophia adalah bukti otentik bagaimana peradaban yang silih berganti itu tetap mempertahankan hasil peradaban pendahulunya. Meski berubah dari gereja lalu masjid (pada masa Khilafah Utsmani atau Ottoman) dan oleh Presiden Kemal Attaturk dijadikan museum, keaslian Aya Sofia yang dibangun tahun 532-537 terjaga hingga kini.

Di sebelah Aya Sofia ada Blue Mosque atau Masjid Sultan Ahmed yang tak kalah indahnya. Dibangun tahun 1616, masjid ini merupakan perpaduan arsitektural Islam dan Ottoman klasik. Selain itu ada Topkapi Palace yang kini menjadi museum, dibangun oleh Sultan Mehmed II tahun 1459 dan menjadi tempat tinggal Sultan Ottoman kurang lebih 400 tahun.

Saya sering membandingkan Indonesia, negeri bawah angin yang kondang sebagai pusat peradaban tertua dunia ini, seperti halnya Mesir dan Turki, tapi sulit menemukan prasasti/monumen atau artefak yang dapat disaksikan hingga kini. Kerajaan maritim Sriwijaya dan Majapahit kurang apa hebatnya. Negeri ini pernah berkuasa selama 800-an tahun dan sangat disegani oleh kerajaan dunia yg ada pada tahun 700-1500 M. Disusul kemudian kerajaan Pasai, Malaka, dan Aceh Darussalam yang menguasai perdagangan laut sepanjang Nusantara hingga mancanegara. Belum lagi kerajaan Demak, Banten, Cirebon, Makassar, Bima, Bone, Tidore, Banjar, dan seterusnya. Tapi mana sisa-sisa kejayaan itu? Apa buktinya?

Untung kita punya Borobudur dan Prambanan. Sedikit monumen masjid Demak dan Banten. Makam para wali pembawa Islam yang tersebar di Jawa dan para ulama di tanah Melayu. Fort Rotterdam atau awalnya bernama benteng ujung pandang, sebuah bangunan megah peninggalan Kerajaan Gowa yang dibangun sekitar tahun 1545. Patung Arung Palaka di Bone. Tapi bukti kehebatan Majapahit dan Aceh dimana? Situs Trowulan di Mojokerto yang dianggap kawasan berdirinya struktur-struktur besar (candi, makam, dan kolam) sisa kerajaan Majapahit kini terpotong oleh jalan negara yang menghubungkan kota Jombang dan Surabaya. Padahal siapa yang tak tahu kisah Gajah Mada dengan Sumpah Palapa-nya yang berhasil menyatukan Nusantara. Begitu juga Mesjid Indrapuri, bekas benteng sekaligus candi kerajaan hindu, oleh Sultan Iskandar Muda (berkuasa 1607-1637 M) dirubah menjadi mesjid. Namun bukti ini masih diperselisihkan.

Sriwijaya di Palembang apanya yang bisa kita lihat sekarang? Memang ada prasasti Ligor yang ditemukan di Thailand, Palas Pasemah di Lampung; Prasasti Kota Kapur ditemukan di pesisir Pulau Bangka sebelah Barat; atau Prasasti Telaga yang ditemukan di sekitar kolam Kec. Ilir Timur Kota Palembang. Tapi mana bentuk kerajaan Sriwijaya yang hebat itu?

Benarkah kita ini tidak memiliki rasa kepemilikan sejarah yang kuat? Betulkah kita ini bangsa pelupa sehingga generasi berikutnya tidak tahu kehebatan warisan sejarah bangsa sendiri.

Saya membandingkan sisa-sisa kejayaan dan peradaban Lyon dan Paris di Perancis, Amsterdam di Belanda, lalu saya ke Milan Italia, jejak-jejak masa lalu itu masih terekam dan terdokumentasi dengan baik dan dapat dinikmati oleh generasi hari ini. Menara Eiffel begitu terkenal sebagai landmark kota Paris. Arc de Triomphe atau Gerbang Kemenangan yang dibangun tahun 1806 untuk memperingati kemenangan Napoleon Bonaparte. Kathedral Notre Dame merupakan bangunan abad ke-12 yang dianggap sebagai contoh terbaik dari gaya arsitektur gothic Perancis. Selain itu tentu Museum Louvre yang awalnya merupakan istana (Palais de Louvre) dibangun tahun 1190, berisi lebih dari 380 ribu objek pameran dan memajang lebih dari 35 ribu karya seni sejak prasejarah hingga kini.

Di Milan ada Duomo, katedral Gothic terbesar ketiga di Eropa yang dibangun tahun 1386. Sementara Katedral di Jakarta, berhadapan dengan Masjid Istiqlal adalah tinggalan kolonial Belanda. Milan juga punya Galleria Vittorio Emanuele II, tempat perbelanjaan beratap kaca besar berjajar dengan toko-toko mahal, bar, dan restoran yang dibuka pada tahun 1867. Ada La Scala, gedung opera paling terkenal di dunia yang diresmikan pada 3 Agustus 1778, dibawah nama Nuovo Regio Ducal Teatro alla Scala atas karya dari Antonio Salieri. Selain itu di Milan ada landmark National Museum of Science and Technology Leonardo da Vinci, yakni museum ilmu pengetahuan dan teknologi terbesar di Italia, didedikasikan untuk seorang pelukis ilmuwan asal Italia yaitu Leonardo da Vinci. Tempat ini dibuka pada tanggal 5 Februari 1953.

Sama halnya kota tua di Jakarta dan Semarang misalnya adalah warisan kolonial Belanda. Itupun hampir punah dan tak terawat, artefak tak berisi. Padahal dibandingkan dengan kota Amsterdam, Milan atau Paris, Indonesia memiliki bekas peradaban 10x lipat. Tapi kenapa hilang tak berbekas? Untuk saat ini, sesungguhnya bekas-bekas peradaban itu akan menjadi destinasi pariwisata yang mahal dan mendatangkan devisa negara luar biasa. Dan untuk pembelajaran generasi sekarang, sisa-sisa peradaban itu menjadi mata rantai penghubung masa silam, kini dan akan datang.[]

Saya berimajinasi andai Kerajaan Aceh Darussalam masa Sultan Iskandar Muda yang digambarkan oleh Danys Lombard (sejarawan asal Perancis) sebagai puncak kejayaan Aceh itu masih ada dan lengkap: bangunan istananya, struktur kerajaannya, sistem sosialnya, kehebatan armada lautnya, kehidupan keagamaannya, kehebatan ulamanya, keadilan Sultan dan Sultanahnya, dan seterusnya. Wow... betapa orang Aceh bisa berbangga kepada dunia seperti kebanggaan orang Perancis terhadap Eiffel dan Notre Dame, atau orang Turki dengan Aya Sofia-nya, dan orang Mesir dengan Pyramid atau Universitas Al-Azhar-nya. Lebih dari itu orang Aceh bisa ’menjual’ dan menjadikan artefak sejarah itu sebagai destinasi wisata dan tempat belajar orang-orang dari seluruh dunia.

Museum, ya museum tentang sejarah Aceh yang gilang gemilang itu pun tak pernah lengkap kita miliki. Dua tahun lalu saya berkunjung ke STAIN Lhoksemawe sambil menyempatkan ziarah ke makam pendiri Kerajaan Pasai, Sultan Malikus Shalih (atau Marah Silu nama aslinya). Makam itu dikelola seadanya dan jauh dari memadai. Penjaga makam menerangkan riwayat Marah Silu dengan sangat baik meski kerap tercampur antara legenda dan sejarah.

Beberapa minggu lalu saya berkunjung ke Subulussalam sambil ziarah ke makam Hamzah Fansuri (ulama terkemuka Aceh, seorang sufi, dan sastrawan Melayu tanpa tanding), kondisi makamnya pun terlantar dan terawat seadanya. Jauh dari kota, berada di kampung di pinggiran sungai yang dulu menjadi urat nadi perekonomian, tapi sekarang sungai besar itu kotor dan penuh lumpur.

Kondisi yang sama terlihat pada makam Syiah Kuala atau yang harum namanya dengan Syekh Abdurrauf As-Sinkili di Banda Aceh. Meskipun makam ini selamat dari terjangan Tsunami Aceh, saya membayangkan jika kita memiliki kepedulian sejarah yang tinggi, mungkin maqbarah Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh Darussalam masa dua Sultanah ini pasti lebih layak, setidaknya seperti makam Sunan Ampel di Surabaya atau Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Siapa yang menyangkal keulamaan Syekh As-Sinkili dan Syekh Hamzah Fansuri, muridnya Syekh Syamsuddin Sumatrani, atau penggantinya Syekh Nuruddin Ar-Raniri. Keempat ulama besar Aceh ini telah meletakkan pondasi keislaman, kemelayuan, dan keintelektualan dunia Melayu dan Indonesia bersama para Sultan Aceh yakni Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Sultanah Safiatuddin (1641-1675) dan Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678-1688 M).

Imajinasi saya lagi-lagi ke Kerajaan Majapahit. Kerajaan yang jauh dari laut ini, boleh dikata kerajaan pedalaman di Trowulan (Mojokerto sekarang) tapi tampil menjadi negara maritim yang ditakuti lawan maupun kawan sepanjang abad 10-15 M. Bangunan istananya seperti digambarkan oleh Langit Kresna Hariadi dalam serial novelnya tentang Gajah Mada adalah istana tercanggih saat itu. Pilar-pilar kayunya diukir dengan detil oleh seniman ternama. Memiliki pintu gerbang di 4 penjuru dengan nama Lawang Sewu, Bajang Ratu, Wringin Lawang yang menggambarkan kewibawaan dan kemajuan.

Kolam Segaran yang berada di dalam istana merupakan kolam besar berbentuk persegi panjang dengan ukuran 800 x 500 meter persegi. Nama ’Segaran’ berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti ’laut’ atau sebagai miniatur laut. Tembok dan tanggul bata merah mengelilingi kolam yang sekaligus memberi bentuk pada kolam tersebut. Saat ditemukan oleh Henry Maclaine Pont pada tahun 1926, struktur tanggul dan tembok bata merah tertimbun tanah dan lumpur.

Beberapa candi juga ditemukan tidak jauh dari istana Majapahit, selain bentuk pemukiman yang sudah menggunakan fondasi batu bata yang ditata berundak.

Bukankah bukti-bukti itu semua bisa disetarakan dengan istana Napoleon, istana Topkapi, Tajmahal warisan kekhalifahan Mughal, istana Fir’aun di Mesir, atau istana Buckingham Inggris.

Istana Topkapi (sekarang menjadi museum) masih utuh hingga kini seperti halnya Aya Sofia dan Blue Mosque. Museum Napoleon (Musée de l’Armée sekarang merumahkan Makam Napoleon dan museum Angkatan Darat Perancis) di Paris masih bisa dikunjungi wisatawan, lengkap dengan segala bentuk kekayaan budaya seperti alat perang seperti meriam, senjata, pedang, benda pusaka, foto, kerajinan, dan pernak-pernik yang dikaitkan dengan masa kejayaan Perancis di era Napoleon. Kalau saja segala hal yang berkaitan dengan Gajah Mada dan Raja Hayam Wuruk (yang dianggap masa kejayaan Majapahit) masih ada hingga kini dan dirawat di museum (entah apa namanya: saat ini sedang dirintis Museum Trowulan), alangkah makmurnya Pemda Mojokerto mendapat kunjungan wisdom dan wisman setiap saat.

Kota Demak, Cirebon, Banten, Banjar, Makassar, Bone, Tidore, Bima, Palembang, Jambi, Kutai, Malang, Surabaya dan semua wilayah yang pernah memiliki jejak historis, sekali lagi ini imajinasi, akan menjadi destinasi budaya dan pariwisata yang menarik dengan keunikannya jika semua hal peninggalan masa lalu itu terdokumentasi dengan baik. Wong Cirebon hanya dengan makam Sunan Gunung Djati saja saban hari dikunjungi wisdom (wisatawan domestik) yang bermaksud ziarah dan ngalap berkah. Apalagi jika Cirebon mampu mengeksplore kekayaan bekas kerajaan Cirebon yang hebat itu.

Bagaimana dengan Banten yang memiliki Sultan Hasanuddin, Syekh Yusuf Al-Maqassari, Sultan Ageng Tirtayasa dan seabrek peninggalan baik material maupun non-material yang tak ternilai harganya. Sekali lagi, ini soal kesadaran sejarah dan tanggung jawab generasi sebuah bangsa. Wallahu a’lam.[]

(M4S2Q-Geneva-Lyon, 30/1/2016)

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 01-02-2016 Jam: 09:40:02 | dilihat: 5376 kali