Syukur dan Mukjizat




Oleh: Ahmad Inung


Kapan kita bersyukur kepada Allah? Jika pertanyaan ini terlontar, jawaban klisenya adalah saat kita mendapatkan nikmat. Itu adalah standar jawaban atas pertanyaan umum. Sudah barang tentu nilainya seratus. 


Tapi, kapan kita sungguh-sungguh berucap syukur kepada Allah dengan penuh kesadaran? Bahkan sebegitu sungguh-sungguhnya sampai kita bersujud syukur. Tak cukup dengan itu, kita melakukan tasyakuran dengan menggelar ritual jamuan makan bersama orang-orang di sekitar untuk berbagi kebahagiaan.


Jawaban pertanyaan kedua ini biasanya dilakukan saat doa kita terkabul. Misalnya, ketika ikut kompetisi tertentu dan memenanginya sesuai dengan doa-doa yang terus kita rapalkan. Atau, saat tiba-tiba kita mendapatkan rezeki, mungkin memenangkan undian atau yang lain. Atau, tanpa kita duga, kita mendapatkan sesuatu yang sangat membahagiakan.


Apakah ungkapan syukur di atas salah? Tentu saja tidak. Tapi, itu seakan-akan Allah hanya memberi karunia-Nya karena doa-doa kita atau hanya sesekali saja melimpahi kita dengan kasih sayang-Nya.


Marilah sedikit saja kita merenung. Jika Anda terlalu sibuk, cukup sebentar saja agar kerja-kerja Anda tidak terbengkalai; agar target-target Anda tidak meleset; agar karier Anda tetap melesat. 


Apakah yang kita miliki sekarang semua karena doa-doa kita? Apakah pangkat, jabatan, dan posisi yang kita miliki sekarang karena doa-doa kita? Bahkan ketika kita merasa bukan siapa-siapa, apakah berbagai hal yang kita miliki dan karenanya kita baik-baik saja dan merasakan bahagia karena doa-doa kita? Apakah kita saat ini adalah karena doa-doa kita? 


Sebagian dari apa yang kita miliki dan rasakan serta siapa kita saat ini mungkin adalah terkabulnya doa-doa kita. Tapi, marilah kita hitung, lebih banyak mana karunia Allah yang diberi secara cuma-cuma daripada karena doa-doa kita?


Bahkan, siapa diri kita dan apa yang kita miliki saat ini mungkin sama sekali tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Jangankan dicita-citakan, terbayangkan saja tidak. Jangankan muncul dalam doa-doa yang kita wiridkan, terbersit dalam pikiran saja tidak.


Lalu, mengapa kita membutuhkan terkabulnya doa hanya untuk bersyukur? Padahal, Allah telah memberi lebih dari doa kita; lebih dari harapan kita; lebih dari apa yang kita bayangkan.


Jika sampai titik ini kita masih saja terjebak dalam kesadaran (atau sebaliknya) bahwa pembicaraan kita ini hanya terkait dengan hal-hal besar dan istimewa seperti pangkat dan jabatan, maka mari kita lanjutkan perenungan ini dengan hal-hal yang kita anggap remeh-temeh sehingga luput dari syukur kita. Kita merasakan kantuk sehingga bisa tidur malam hari dan terbangun di pagi hari.


Seharian kemudian kita beraktivitas. ​​​

Hitunglah satu per satu kenikmatan kita mulai bernapas, makan, bergerak, dan seluruh sistem tubuh yang memungkinkan itu semua terjadi.


Mungkinkah kita sanggup menghitungnya? Tidak akan mungkin. Jika kita merasa bahwa hal-hal itu tidak ada yang layak disyukuri, hilangkan satu saja, dan apa yang akan terjadi pada diri kita?


Begitu tak terhingga karunia Allah kepada kita setiap detik, lalu mengapa kita menunda syukur hanya untuk hal-hal besar. Seakan-akan kita tidak mendapatkan anugerah istimewa dari Allah setiap saat. Mengapa rasa syukur harus tertunda hingga kita mendapatkan lotere seakan lotere lebih istimewa dari ujung kuku jari kaki kita. Mengapa untuk menyadari hal sederhana ini saja kita menunggu sampai Allah mengambil sedikit dari karunia-Nya.


Tapi begitulah kita sebagai manusia. Sering tidak sanggup melihat keistimewaan pada hal-hal biasa hanya karena hal itu terjadi secara lumrah. Kita baru akan merasa "wow" dan berucap subhanallah ketika menjumpai hal-hal di luar kebiasaan. Misalnya, ada bangunan yang tidak rusak saat gempa yang meluluhlantakkan bangunan-bangunan sekitarnya; atau ada orang yang selamat sekalipun ditabrak kereta api; atau keajaiban-keajaiban lain. Seakan, Allah hanya layak untuk dipuja keagungan-Nya dalam beberapa kejadian aneh.


Padahal, mari kita tengok diri kita dan hal-hal kecil di sekeliling kita. Tak perlu membayangkan milyaran galaksi yang kecepatan cahaya tidak lagi bisa digunakan untuk mengukur jaraknya. Tak perlu ikut telibat dalam diskusi apakah semesta ini terbatas atau tak terbatas. Cukup kita merenung mengapa api itu panas dan air itu dingin; mengapa burung bisa terbang dan ikan berenang. Kita bisa menjawabnya dengan menggunakan hukum kimia atau teori evolusi, tapi pada akhirnya kita hanya akan tercekat dengan seluruh keagungan ini.


Lalu, mengapa kita menunda mengakui keagungan Allah sampai kita menemukan hal-hal aneh di luar kebiasaan. Seakan hal-hal lumrah yang kita temui sehari-hari bukan manifestasi dari keagungan Allah. Mengapa kita keranjingan pada "mukjizat" seakan-akan sinar matahari yang kita nikmati setiap hari bukanlah sebuah mukjizat.

Mengapa untuk sebuah kesadaran yang teramat sangat sederhana ini menunggu sampai setua ini? Mengapa?

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 24-11-2023 Jam: 09:03:46 | dilihat: 167 kali