Tanah Harapan dan Tikus di Sudut Jalan




Oleh : Ahmad Inung


Amerika adalah dunia baru; Amerika adalah tanah harapan. Begitulah imajinasi yang sejak awal dibangun mengiringi diakuisisinya Amerika oleh orang-orang "beradab" Eropa. Para pelaut-petualang-tentara Eropa di bawah komando Christopher Columbus merasa menemukan dunia baru yang diimpikan. 


Di hadapan orang-orang ini, Amerika adalah sebuah benua yang sekalipun sejak lama ada penghuninya, tapi dianggap sebagai tanah tak bertuan. Tanah perawan yang siap untuk diapakan saja atas nama mimpi masa depan.


Mungkin tidak ada sebuah negara yang menerima imigran sebanyak Amerika. Pulau Ellis yang berlokasi di antara New York dan New Jersey adalah saksi sejarah antusiasme dunia terhadap Amerika. Antara 1892 sampai 1954, tak kurang dari dua belas juta imigran, terutama dari Eropa, di proses di pulau ini untuk menjadi warga negara Amerika.


Kisah-kisah antusiasme manusia Eropa terhadap Dunia Baru Amerika bisa dilihat di berbagai film Hollywood. Film Far and Away (1992) yang dibintangi Tom Cruise dan Nicole Kidman, Goal Couple saat itu, hingga  Titanic yang hampir seluruh penonton menginginkan dua bintang utamanya, Leonardo DiCaprio dan Kate Winslet, sungguh-sungguh sepasang kekasih di luar film, adalah segelintir dari puluhan film yang mengisahkan migrasi manusia ke tanah baru Amerika. Tanah untuk mewujudkan mimpi masa depan kebebasan dan kesejahteraan manusia di dunia.


Begitu obsesifnya kaum Pencerahan Eropa terhadap Amerika sebagai tanah harapan, sampai Kaum Pencerahan Perancis, atas nama masyarakat Perancis keseluruhan, menghadiahkan sebuah patung perunggu raksasa yang kini menjadi ikon Amerika Serikat. Itulah patung Liberti, patung seorang Dewi Kebebasan Romawi. Tangan kanannya membawa obor, dan tangan kirinya memegang buku bertuliskan hari kemerdekaan AS, 4 Juli 1776, dalam angka Romawi (JULY IV MDCCLXXVI). Di kepalanya terpasang mahkota dengan tujuh rumbai yang mengarah ke seluruh sudut mata angin. Belenggu kaki terputus dengan kaki yang tampak menapak maju.


Patung yang terpajang gagah di sebuah pulau kecil dekat Pulau Ellis itu diniatkan sebagai lambang peran semesta AS dalam menerangi dunia ke arah tatanan dunia yang lebih baik. Itulah mengapa nama lengkapnya adalah Liberty Enlightening the World (Kebebasan Menerangi Dunia). 


Secara pragmatis, patung Liberti, karena posisinya yang menghadap ke laut, berfungsi seperti mercusuar bagi para imigran Eropa yang datang ke Amerika melalui laut. Setelah melalui perjalanan laut yang sangat jauh, di mana nyawa tidak jarang menjadi taruhan, harapan tumbuh kembali begitu melihat patung Liberti dari kejauhan. Patung Liberti yang terletak di Pelabuhan New York adalah titik tujuan sekaligus simbol harapan bagi siapa saja yang datang ke Amerika.


Imajinasi tentang Amerika Serikat, terutama New York, begitu hebatnya hingga siapa saja terasa meriut di hadapannya. Saat ini, ribuan orang berbondong-bondong untuk sekadar jalan, konkow atau bahkan sekadar foto di Times Square. Menikmati videotron raksasa yang terpasang di dinding-dinding kaca gedung-gedung pencakar langit lalu berjingkrak dan bersorak ketika wajah kita sekilas terlihat di screen raksasa karena sorotan kamera pas mengenai kita. Berfoto dengan para badut yang berpakaian ala tokoh-tokoh film Hollywood untuk mengabadikan kebanggaan bahwa kita pernah ke New York. Atau, berdiri sebentar melihat para seniman jalanan menunjukkan aksinya menari sambil bersalto.


Tidak apa-apa. Nikmatilah New York. Keriuhannya. Kemegahannya. Estetika banal dan binalnya. Tapi New York bukanlah surga tanpa cacat hingga kita minder dan tidak bisa mengapresiasi capaian diri sendiri. Ada seribu alasan untuk mengagumi New York. Tapi kita juga tak kekurangan alasan untuk mengumpat seperti yang biasa kita lakukan di Jakarta.


Kita bisa menemukan restoran mewah di New York, tapi betapa mudahnya kita menemukan gelandangan yang memunguti puntung rokok untuk dihisap. Kita bisa menikmati gemerlap kemewahannya, tapi di sepanjang jalannya tak sulit menemukan orang-orang dengan gangguan jiwa yang berteriak-teriak dengan pakaian compang-camping.


Mari hitung uang kita, jika cukup, tak sulit mencari hotel semewah yang kita inginkan. Tapi lihatlah, berapa banyak orang yang bisa kita temukan menenteng koper pakaian kumal ke mana-mana dan tidur di mana-mana karena tidak memiliki rumah.


Berdasarkan laporan The New York Times, sampai Juni 2023, terdapat lebih dari 100 ribu tunawisma di New York. Sebuah angka yang sangat tinggi. Bandingkan dengan angka penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) di DKI Jakarta tahun 2020 yang "hanya" 4.622 orang, itu pun tidak semua kategori tunawisma.


Pernahkah kita mengumpat-umpat karena sampah berserakan di sudut-sudut kota kita? Pernahkah kita memaki-maki karena lalu lintas kota kita yang tak tertib, pejalan kaki menyeberang seenaknya? Pernahkah kita begidik karena jijik saat menikmati makanan di warung tenda pinggir jalan tiba-tiba seekor tikus berlari melewati sela-sela kaki kita?


Mungkin kita tidak cukup memaki dengan mulut, tapi diam-diam membayangkan Amerika Serikat yang maju, atau New York yang megah-indah seperti yang ditampilkan di film-film. Datanglah ke New York. Memakilah sekeras-kerasnya karena kalian akan menemukan semua daftar alasan makian itu.


Jika kalian menikmati malam di Times Square, mohon jangan hanya ceritakan keriangan dan kemegahannya. Tolong juga katakan bahwa di sudut-sudut jalannya, kita juga bisa menikmati tikus pasar yang, seperti di Indonesia, sesekali berseliweran di dekat kaki kita untuk ikut menikmati pesta.


Apa yang ingin dinyatakan di sini bukanlah untuk merendahkan sebuah kota. Pesannya adalah bahwa ke mana pun kita melangkah, kita bisa memperbaiki apa yang kita punya. Kita bisa belajar dari mana saja. Tapi ada perbedaan antara belajar dengan menghamba. Jika yang pertama mengambil dari orang lain untuk memperbaiki diri, yang kedua kehilangan jati diri.


Di belantara New York, saya semakin menyadari ajaran dari para kiai kita, al-muhafadhat ala al-qadim al-shalih wa al-akhdhu bi al-jadid al-ashlah (Mempertahankan kebaikan yang telah ada, dan mengambil hal baru yang lebih baik). Hanya dengan ini kita bisa bergerak maju tanpa kehilangan jati diri kita; tanpa lalai mengapresiasi apa yang sudah kita capai.


Sumber : arina.id (https://arina.id/perspektif/ar-WR28D/tanah-harapan-dan-tikus-di-sudut-jalan?page=2)

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 04-09-2023 Jam: 08:38:12 | dilihat: 290 kali