WORLD CLASS-UNIVERSITY: OBSESI ATAU MIMPI?




Oleh : Mastuki HS (Kasubdit Kelembagaan Diktis)

Akhir tahun 2014 lalu BAN-PT kerjasama dengan UIN Jakarta dan UIN Malang menyelenggarakan Konferensi Internasional dengan judul “Towards World Class Islamic Higher Education Institutions”. Menuju Lembaga Pendidikan Tinggi Islam Kelas Dunia”. Tema world class menjadi perbincangan yang hangat di kalangan perguruan tinggi. Beberapa tahun terakhir, kampus-kampus negeri maupun swasta telah berupaya menjadi universitas kelas dunia atau world class university (WCU).

Argumen yang mengemuka mengapa kampus-kampus berupaya menjadi berkelas dunia adalah agar dapat bersaing dengan kampus-kampus kelas dunia dan sekaligus menghasilkan lulusan yang juga dapat bersaing dengan lulusan dari negara-negara maju di dunia internasional. Argumen-argumen tersebut muncul pada dasarnya karena memang melihat beberapa kenyataan mutakhir akibat dari globalisasi dalam berbagai sendi kehidupan manusia.

Pertama, globalisasi dalam bidang ekonomi yang mewujud dalam praktik ekonomi pasar bebas. Kedua, globalisasi dalam bidang budaya dalam bentuk masuknya budaya asing ke Indonesia. Ketiga, globalisasi tenaga kerja sebagai akibat dari praktik ekonomi pasar bebas. Keempat, globalisasi bidang pendidikan dengan pendirian lembaga pendidikan di banyak negara berkembang dan beasiswa antar-negara. Dalam globalisasi itulah setiap orang seakan dituntut menguasai pengetahuan dan kemampuan yang dapat digunakan sebagai modal utama memasuki ekonomi pasar bebas, tujuannya agar dapat berkompetisi dan memenangkan kompetisi global itu.

Dampak globalisasi membuat negara-negara berkembang (new emerging and developing countries) merasa harus menyetarakan kualitas dirinya sejajar dengan negara-negara maju dilihat dari Human Development Index (HDI), Program for International Student Assessment (PISA), dan lainnya. Dari sinilah nilai-nilai kompetisi ditabur dan tumbuh subur, terlebih ketika dipupuk oleh rasa inferioritas diri negara berkembang dalam bentuk pengejaran angka-angka HDI, PISA, dan sejenisnya. Dengan kondisi tersebut, dapat dipahami mengapa pihak kampus (dan juga pemerintah) tampak begitu bersemangat dengan world class university yang dianggap sebagai keniscayaan satu-satunya cara untuk dapat bertahan dan berkompetisi di tengah globalisasi.

World Class University juga kerap didefinisikan pada penilaian, perankingan, dan pengakuan yang berskala internasional pada universitas atau kampus di berbagai negara. Studi Levin, Jeong dan Ou (2006) menyebut beberapa tolok ukur skala pengakuan internasional world class university sebagai berikut.

1) Keunggulan penelitian (excellence in research), antara lain ditunjukkan dengan kualitas penelitian, produktivitas dan kreativitas penelitian, publikasi hasil penelitian, banyaknya lembaga donor yang bersedia membantu penelitian, adanya hak paten, dan sejenisnya.

2) Kebebasan akademik dan atmosfer kegembiraan intelektual.

3) Pengelolaan diri yang kuat (self-management).

4) Fasilitas dan pendanaan yang cukup memadai, termasuk berkolaborasi dengan lembaga internasional.

5) Keanekaragaman (diversity), antara lain kampus harus inklusif terdahap berbagai ranah sosial yang berbeda dari mahasiswa, termasuk keragaman ranah keilmuan.

6) Internasionalisasi, misal internasionalisasi program dengan meningkatkan pertukaran mahasiswa, masuknya mahasiswa internasional atau asing, internasionalisasi kurikulum, koneksi internasional dengan lembaga lain (kampus dan perusahaan di seluruh dunia) untuk mendirikan program berkelas dunia.

7) Kepemimpinan yang demokratis, yaitu dengan kompetisi terbuka antar-dosen dan mahasiswa, juga kolaborasi dengan konstituen eksternal.

8) Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

9) Kualitas pembelajaran dalam perkuliahan.

10) Koneksi dengan masyarakat atau kebutuhan komunitas.

11) Kolaborasi internal kampus.

Dengan beberapa tolok ukur itu kita mulai bisa menangkap apa yang dimaksud dengan kampus berkelas internasional, yakni kampus-kampus yang menempati peringkat besar dalam pemeringkatan yang dilakukan oleh lembaga dengan reputasi internasional. Beberapa lembaga pemeringkatan yang dikenal perguruan tinggi di Indonesia misalnya Times Higher Education Supplement (THES), Webometrics, dan Shanghai Jiao Tong University (SJTU).

Peringkat atau ranking inilah yang agaknya dimaksud oleh pihak kampus serta mereka yang sepakat dengan gagasan world class university di Indonesia sekarang ini. Dapat kita lihat betapa gegap gempitanya ketika beberapa kampus di Indonesia naik peringkat dalam pemeringkatan kampus ala THES misalnya. Dengan kata lain, kalau kampus-kampus di Indonesia ingin menjadi unversitas berkelas dunia, semua resources kampus tersebut sedang diupayakan untuk naik kelas dalam pemeringkatan THES, Webometrics, dan sejenisnya.

WCU Bukan Kebal Kritik

Model pemeringkatan universitas berskala dunia bukannya tanpa kritik. Inggris misalnya, memprotes perangkingan world class university oleh Webometrics. Pasalnya, kampus-kampus di Inggris yang sudah berumur lebih dari seribu tahun hanya ada 5 (lima) universitas yang berada di urutan 1 sampai 100; hanya universitas dari Amerika Serikat yang mendominasi. Tidak hanya itu, Simon Marginson (2006), profesor Higher Education di University of Melbourne juga mengkritik metode survei yang digunakan oleh THES.

Beberapa pakar meragukan keabsahan metodologis dari survei dan kutipan sebagai indikator peringkat dunia dengan bobotnya yang begitu besar karena rentan untuk dimanipulasi. Ian Diamon, Direktur Eksekutif Economic and Social Research Council Inggris menyatakan, metode kutipan dengan basis data yang digunakan THES yang lebih banyak menjangkau ilmu-ilmu eksakta jelas tidak dapat menjangkau artikel-artikel ilmu-ilmu sosial humaniora. Padahal betapa banyak kampus yang concern di bidang sosial humaniora, termasuk kajian keagamaan dan keislaman.

Keberatan atau kritik atas metode pemeringkatan universitas berskala internasional diduga karena adanya hegemoni korporasi dan intelektual yang secara kasat mata tampak pada fakta bahwa perusahaan yang bergerak di pemeringaktan universtas itu adalah multinational corporate. Times Higher Education adalah majalah mingguan yang terbit di Inggris; Cybermetrics Lab berkedudukan di Spanyol yang mengelola Webometrics levelnya tak lebih tinggi dari sebuah lembaga di bawah Dewan Riset Nasional di Indonesia; dan Shanghai Jiao Tong University juga sama levelnya dengan banyak kampus di Indonesia. Jika demikian kondisinya, seharusnya setiap universitas dapat merumuskan kriteria dan indikator kampus yang berkualitas itu seperti apa, dalam konteks masing-masing negara tanpa harus mengikuti apa adanya rumusan kampus berkualitas versi majalah mingguan THE, lembaga penelitian Cybermetrics Lab, atau universitas seperti SJTU.

Bagi beberapa pakar, standarisasi kampus secara internasional itu sebenarnya paradoks dalam globalisasi. Ketika kemungkinan untuk menunjukkan identitas yang berbeda terbuka lebar, nilai-nilai toleransi ditebar, hingga muncul pluralitas kebudayaan dalam bentuk multikulturalisme, di sisi lain terdapat upaya besar-besaran untuk memunculkan hanya satu bentuk kebudayaan, yang oleh Herbert Marcuse disebut sebagai fenomena “One-Dimensional Man”. Yakni praktik untuk menggiring masyarakat pada satu sistem yang sama, yakni sistem kapitalis melalui pendidikan, media dan lainnya.

Dalam pendidikan tinggi, praktik semacam itu memunculkan rezim pendidikan global yang turut mendesakkan satu standar global pendidikan melalui pemeringkatan-pemeringkatan yang dilakukan oleh THES atau Webometrics dan semacamnya. Walaupun terjadi persaingan antar-institusi penyelenggara pemeringkatan universitas tersebut, ketika fakta menunjukkan bahwa kampus-kampus di dunia, termasuk di Indonesia tetap berusaha memenuhi syarat agar makin meningkatkan ranking merekadi THE, Webometric, SJTU dan lainnya, pada dasarnya gerak untuk hanya mengakui satu standar global dan universal tetap berjalan. Ini paradoks globalisasi.

Keberatan lain terhadap indikator dan kriteria yang digunakan THE, Webometrics, atau SJTU adalah kecenderungan untuk apolitik. Mereka mendasarkan pada cara pandang pendidikan liberal bahwa ranah dan praksis pendidikan netral dari kepentingan politik, ekonomi dan ideologi. Oleh karena itu, indikator dan kriteria kampus berkualitas yang mereka gunakan sama sekali tidak menunjukkan perlunya kampus ikut berperan dalam transformasi sosial, kultural dan politik sebuah negara. Tidak ada indikator kontribusi kampus untuk penguatan budaya bangsa, modernisasi keagamaan, memperkuat nilai-nilai nasionalisme, kerakyatan dan sejenisnya. Kalau kampus-kampus di Indonesia mengikuti kriteria tersebut, bisa jadi lambat atau cepat akan mengikis kesadaran nasionalisme dan berbangsa segenap sivitas akademika kampus.

Ikut atawa Mandiri?

Pandangan pro dan kontra terhadap pemeringkatan dan orientasi world class university, hemat saya, perlu dicarikan solusi atau sintesa yang memadai. Fakta bahwa perbedaan metodologi, kriteria dan indikator penilaian antar lembaga pemeringkatan, mestinya menyadarkan bahwa masing-masing pihak memiliki cara pandang yang berbeda satu sama lain. Masing-masing punya landasan filosofi dan ideologi yang berbeda dalam mendefinisikan kampus yang berkualitas. Dengan kesadaran tersebut, seharusnya setiap kampus berhak dan layak berdiri sejajar dengan QS, THE, Webometric, SJTU dengan merumuskan kriteria dan indikator kampus yang berkualitas dalam konteks Indonesia. Termasuk dalam hal ini adalah kampus perguruan tinggi Islam.

Namun demikian, pemeringkatan berskala internasional, regional, atau nasional tetap ada faedahnya sepanjang bisa mendorong kemajuan dan orientasi layanan bermutu yang menjadi tanggung jawab perguruan tinggi. Apalagi usia perguruan tinggi di tanah air rata-rata baru mencapai setengah abad hingga satu abad, usia yang cukup muda dibandingkan dengan universitas Harvard, Oxford, UCLA, McGill, dan sejenisnya yang telah berusia ratusan tahun dan selalu berada di posisi teratas dalam perangkingan perguruan tinggi dunia. Dalam konteks kesejajaran perguruan tinggi Islam Indonesia, tampaknya benchmarking dengan perguruan tinggi dengan reputasi internasional menjadi semacam spirit dan trigger untuk mensejajarkan diri karena realitasnya perguruan tinggi Islam di belahan dunia lain tidak ada yang dapat dibanggakan secara internasional, dalam banyak hal.

Kita menyadari bahwa orientasi pendidikan tinggi di Indonesia tidak sama dengan pendidikan tinggi di negara-negara lain, terlebih orientasi pendidikan tinggi Islam. Gagasan integrasi keilmuan antara ilmu umum dan agama yang selama ini dikembangkan Universitas Islam Negeri (UIN) di Indonesia, hemat penulis sangat khas dan spesifik dan menjadi distingsi, pembeda dengan perguruan tinggi lain di dunia. Begitu juga pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang menjadi main mandate dan core business perguruan tinggi Islam membutuhkan kriteria dan indikator mutu yang spesifik, yang tidak harus sama dengan kampus perguruan tinggi Islam di negara-negara Islam lainnya sekalipun. Kesadaran ini satu sisi akan membangun kedaulatan pendidikan kita sendiri, di samping kemandirian yang diperlukan dalam kompetisi dengan pendidikan tinggi lain di dunia.

Dalam konteks inilah kemandirian dalam mengelola ide dan gagasan tentang kualitas pendidikan tinggi Islam perlu dirumuskan secara bersama-sama. Menuju world class university mungkin hanya menjadi wasilah, bukan ghayah (tujuan), bagi peningkatan kualitas di berbagai bidang: kelembagaan, pembelajaran, SDM, layanan akademik, penelitian, publikasi, jaringan kerjasama, dan seterusnya. Jika UIN bersama lembaga yang kapabel di bidang pemeringkatan mutu pendidikan tinggi Islam, semacam ISESCO atau Dewan Riset Nasional dapat merumuskan dan menghasilkan kriteria-kriteria baru, hemat penulis akan menjadi kontribusi yang penting bagi masa depan pendidikan tinggi Islam di Indonesia.Wallahu a’lam bimuradih[]

*) Tulisan ini merupakan revisi dari naskah yang dipersiapkan untuk pidato Menteri Agama dalam Welcoming Speech “International Conference on Quality Islamic Higher Education” di Jakarta, 25 Nopember 2014. Isi menjadi tanggung jawab penulis

RUJUKAN:

Diamond, Ian. (2007). “Social Sciences Lose 1”.Times Higher Education.. Diunduh di: http://www.timeshighereducation.co.uk/

Henry M., Jeong, Dong Wook, & Ou, Dongsu. (2006). What is World Class University? Paper for The Conference Of The Comparative and International EducationSociety, Honolulu, Hawaii, March, 16.

http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings

http://www.webometrics.info/ about_rank.html.

Kelner, Douglas., Lewis Tyson E., & Pierce, Clayton. (2008), On Marcus: Critique, Liberation, and Reschooling in the Radical Pedagogy of Herbert Marcuse. Rotterdam, Netherlands: Sense Publisher.

Kompas. “ITB: ‘World Class University’ Bukan Tujuan Utama!” 27Oktober 2009.

Kompas. “Miliaran Rupiah, demi Universitas Berkelas Internasional.” 20 Mei 2009.

Marginson, Simon. (2006). “Ranking Ripe for Misleading”. The Australian. Diunduh dari http://www.theaustralian.com.au/higher-education/.

Nurtjahjadi. (2010). “Inggris Protes Ranking WCU.” Diunduh dari website Edukasi Kompasiana http://edukasi.kompasiana.com

Republika. “Menuju World Class University.” 9 April.2008

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 16-08-2015 Jam: 05:50:43 | dilihat: 18664 kali