DARI PESANTREN, KE GEREJA DAN KE MASJID




Memasuki hari keempat kegiatan Promoting Indonesian Islamic Higher Education yang diprakarsai oleh Subdit Kelembagaan dan Kerjasama Direktorat Pendidikan Tinggi Islam, Rabu 4 November 2015, para delegasi dari Parlemen Eropa mengunjungi tiga lokasi yang berbeda, yakni Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Gereja Katolik Ganjuran ( Catholic Church of the Sacred Heart of Jesus), dan Masjid Mataram Kotagede. Di ketiga lokasi ini, para delegasi bertemu dan berdialog langsung dengan para pengurus lokasi setempat.

Saat berada di Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, delegasi disambut oleh pengurus yayasan pesantren, yaitu Jazilus Sakhok sebagai wakil ketua yayasan. Mengangkat tema diskusi “The Role of Islamic Higher Education In Promoting Moderate Islam In Indonesia: Learning From Pesantren Sunan Pandanaran”, para delegasi terlihat antusias saat berbicara mengenai Islam radikal dan rasa keingintahuan mereka mengenai pandangan pesantren terhadap ajaran Islam.

Sebagai pesantren yang sudah lama berdiri, Sakho memperkenalkan bahwa pesantren merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Islam di Indonesia. Sakho juga menjelaskan bahwa pendidikan Islam yang diajarkan adalah bernuansa moderat dan bahwa akulturasi Islam dan Indonesia di pesantren sangat dominan. Hal ini terlihat dari metode pengajaran kitab kuning yang menggunakan bahasa Jawa untuk menginterpretasikan kata-kata Al-Quran yang berbahasa Arab.

Disamping diskusi, para delegasi pun menggunakan kesempatan untuk melihat kehidupan pesantren, cara belajar di pesantren dan melihat-lihat kondisi perpustakaan yang ada di pesantren. Hal ini sangat menakjubkan bagi mereka, dimana banyak keterampilan-keterampilan yang dilakukan oleh anak-anak santri.

Setelah kunjungan di pesantren, kunjungan dilanjutkan ke Gereja Ganjuran, yang juga tidak kalah menarik. Akulturasi agama dan budaya pun sangat terlihat dengan adanya patung Yesus dan Bunda Maria yang menggunakan pakaian khas Jawa, dan keterangan-keterangan yang berada dalam Gereja pun berbahasa Jawa. Tidak hanya itu, Arsitekturnya pun mirip Candi, yang khas Jawa tapi berasal dari agama Hindu. Hal ini menurut Joko sebagai jamaat Gereja, disebabkan karena jamaat Gereja bukanlah “orang Katolik di Indonesia,” tapi mereka adalah “orang Katolik Indonesia,” oleh karena itu, Gereja yang didirikan haruslah bernuansa Indonesia hingga sesuai untuk orang Indonesia.

Hal yang sama terjadi juga di Masjid Mataram, Kotagede. Masjid yang telah berdiri sejak tahun 1587 ini, merupakan akulturasi antara agama dan budaya lokal yang sangat kental. Arsitektur Masjid ini sangat bernuansa Jawa, tanpa adanya kubah melainkan rumah-rumah Jawa. Selain itu, menurut pengurus Masjid ketika berdialog dengan delegasi Parlemen Eropa, bahwa Masjid Mataram sendiri banyak mengambil desain Budha yang pada saat pembangunannya, agama Budha memang menjadi agama mayoritas di Jawa.

Dari beberapa kunjungan ini, para peserta memahami bahwa agama merupakan hal yang sangat kontekstual sehingga interpretasinya bisa dilakukan dengan menghargai budaya setempat. Dengan begitu, agama dapat diterima oleh masyarakat setempat, dan secara inheren, ia bersifat toleran terhadap agama lainnya. [Ich/Pye]

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 13-11-2015 Jam: 09:19:51 | dilihat: 707 kali