PERINGATAN HARI "SOEMPAH PEMOEDA" DI MAROKO




Kami Poetra Dan Poetri Indonesia Mengakoe, Bertoempah Darah Jang Satu,

Tanah Indonesia

Kami Poetra Dan Poetri Indonesia Mengakoe Berbangsa Jang Satoe,

Bangsa Indonesia

Kami Poetra Dan Poetri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean,

Bahasa Indonesia

"Pemuda sekarang, pemimpin masa depan" pepatah Arab ini sangat tepat untuk menggambarkan persoalan pemuda, karena di tangan pemuda nasib sebuah bangsa dipertaruhkan. "Sesungguhnya kejayaan suatu bangsa terletak pada ahlak yang baik. Bila ahlak pemuda itu rusak maka jatuhlah bangsa itu" (al-Hadits).

Konteks di atas persisi terjadi 87 tahun silam, ketika teks ikrar sumpah pemuda dikumandangkan menggema se antero nusantara melalui siaran radio maupun media cetak, teks itu mampu mengilhami semangat akan pentingnya sebuah bangsa yang merdeka pada saat itu. Sumpah Pemuda adalah satu tonggak utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini dianggap sebagai kristalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara kesatuan yang bernama Indonesia. Ada Jong Java, Jong Soematra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar2 Indonesia.

Untuk mengenang masa-masa heroik, tanggal 28 Oktober ditetapkan sebagai hari "Sumpah Pemuda". Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Maroko pun tidak ketinggalan dalam memperingati hari Sumpah Pemuda dengan mengadakan kegiatan debat ilmiah di KBRI Rabat dengan mengangkat isu-isu nasional; demokrasi, gender, korupsi dan pendidikan. Peserta debat adalah mahasiswa Indonesia strata satu (S1) yang sedang studi di Maroko. Mahasiswa Indonesia yang studi di luar negeri adalah diaspora Indonesia. Ada mahasiswa yang datang dari kota Fes, Casablanca, Marakes, Tanger, Kenitra dan Rabat. Tujuan kegiatan itu untuk memupuk rasa persatuan agar tetap berkobar menyuarakan tekad memajukan bangsa dan tanah air Indonesia seperti yang dilakukan para pendahulunya. Dewan jurinya adalah empat orang yang sedang mengikuti postdoctoral program / visiting professor (POSFI) Kementerian Agama RI.

Persoalannya, pemuda sekarang dihadapkan pada situasi sulit, banyak yang belum siap hidup di dunia global dengan kekuatan teknologi modern, kecepatan informasi yang luar biasa, sarana dalam kehidupannya pun serba mesin. Jika tidak hati-hati ia akan menjadi pemuda bermental hipokrit dan pragmatis. Ini persoalan serius yang merupakan salah satu akar pemicu berbagai persoalan bangsa saat ini.

Islam menganjurkan kita untuk meninggalkan pemuda unggul bukan pemuda yang lemah (QS. An-Nisa`: 9) Untuk melahirkan pemuda unggul, pendidikan harus berorientasi pada proses bukan pada hasil, proses harus menjadi inti dalam sebuah pembelajaran. Pemuda unggul harus mempunyai moral kuat, etika tinggi, pribadi yang bersih, ia harus berusaha menghindari atau menyucikan dirinya dari hal-hal tidak baik dan kotor kemudian menghiasinya dengan sifat dan sikap yang baik, pribadi yang tulus dan penyayang. Kecerdasan tersebut diperolehnya dengan menjadi pribadi bersih dan selalu memproses dirinya tanpa henti karena ia adalah pembelajar sejati sepanjang hayat (long life education).

Bumi pertiwi ini telah banyak melahirkan tokoh-tokoh pemuda yang hebat di masanya. Misal, Ki Hajar Dewantoro dengan Taman Siswanya, KH. Hasyim Asy’ari dengan NU & Laskar Hizbullahnya, KH Ahmad Dahlan dengan Gerakan Muhammadiyahnya, KH. Agus Salim, Moh. Yamin, dr. Wahidin Sudiro Husodo, dr. Cipto Mangunkusumo, HOS Tjokroaminoto, Haji Samanhudi dsb. Mereka semua adalah pemuda bangsawan yang melepaskan atributnya demi menjadi “bapak bangsa” yang tidak gila kekuasaan dan kemewahan, tetapi gila mengajarkan kebenaran untuk semua orang.

Ki Hajar Dewantoro misalnya, terkenal dengan konsep “Tri-nga” yaitu ngerti (mengetahui) ngroso (memahami) dan nglakoni (melakukan). Artinya, tujuan orang hidup pada dasarnya adalah meningkatkan pengetahuannya tentang apa yang dipelajarinya, mengasah rasa untuk meningkatkan sensifitas yang ada di sekitarnya, serta melaksanakan ajaran yang ia telah ketahui sebelumnya. Kemudian konsep Tringa ini berkembang menjadi konsep “Tri-sakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa dan karsa. Untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. Yang kemudian konsep trisakti jiwa ini berkembang lagi menjadi konsep “Tri-hayu” yaitu, memayu hayuning sariro, memayu hayuning bongso, dan memayu hayuning bawono. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya dan juga bermanfaat bagi orang lain bagi pemuda secara keseluruhan. Kemudian konsep Trihayu inilah yang mengilhami lahirnya konsep “Trilogi Kepemimpinan” yang merupakan bekal fardlu ‘ain bagi calon pimpinan level manapun, yaitu ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, ketika seseorang berada didepan maka ia harus mampu menjadi teladan yang baik, ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang yang di pimpinannya.menjadi berkembang lebih baik lagi.

Sifat-sifat mulia ini harus dimiliki oleh pemuda sekarang, seperti kesahajaan, kedermawanan, ketauladanan dan kesederhanaan. Kesederhanaan lebih mulia lebih barokah dan tentu lebih merdeka, sebab tidak takut dicurigai, tidak takut diperiksa, tidak takut didemo, tidak takut kehilangan dst. Hidup merdeka lahir batin itu jauh lebih sehat, banyak orang secara lahir hidup gemerlap penuh kemewahan tapi sejatinya batinnya menderita sekali, orang jawa bilang lebih baik mikul dhawet rengeng-rengeng tapi ngguyu dari pada numpak montor tapi brebes mili. [Syaiful Mustofa]

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 05-11-2015 Jam: 18:19:24 | dilihat: 841 kali