Serangan di Kota Paris, Bagaimana Warga Indonesia Merespon?




Mendekati tengah malam tadi (Jumat malam waktu Paris, 13 November 2015), notifikasi facebook dan email saya berdering ramai. Ternyata beberapa rekan dari beberapa negara menanyakan kabar saya terkait rangkaian serangan di Kota Paris. Saya malah kaget, karena memang saat itu saya sedang fokus membaca bahan tugas kuliah, dan tidak membuka berita. Sejak sebulan lebih tinggal di Paris, komunikasi andalan saya adalah email dan FB, apalagi setelah nomor WA Indonesia dan BBM tidak aktif. Sontak saya mencari berita-berita terkait dan menghubungi beberapa rekan mahasiswa Indonesia yang ada di Paris.

Seperti lazimnya kejadian-kejadian teror dimanapun, berita segera berkembang pesat, sampai-sampai kita yang berada di lokasipun masih sulit memilah mana yang akurat dan tidak. Simpang siur berita terutama terkait dengan motif dan jumlah korban. Mulai dari masalah premanisme, sentimen pertandingan bola, sampai urusan terorisme yang ujung-ujungnya membawa nama Islam, dan kali ini secara spesifik menyebut ISIS. Berita terakhir dari sumber lefigaro.fr, salah satu web berita yang paling sering saya baca, pagi jam 6 tadi waktu Paris merangkum setidaknya 126 orang tewas dan 200 lainnya luka-luka. Serangan ini terjadi di beberapa titik yaitu penembakan di 5 bar dan restoran, sebuah ruang pertunjukan berlangsungnya konser dan ledakan di Stade de France (gelanggang olah raga) dimana sedang berlangsung pertandingan bola antara Prancis vs Jerman yang dihadiri langsung Presiden Francois Hollande. Pemerintah mengumumkan kondisi darurat, dengan menerapkan penjagaan ketat di wilayah perbatasan Provinsi ÃŽle-de-France (kota Paris dan sekitarnya), menutup beberapa ruang publik dan jalan. Berita terkini dari CNN saat saya menulis catatan ini, menyatakan jumlah korban mencapai 153 orang tewas.

Peristiwa ini tentunya menjadi luka mendalam tidak hanya bagi Prancis, tapi bagi dunia. Apalagi dikabarkan, ini merupakan serangan paling mematikan di Eropa dalam 40 tahun terakhir, setelah serangan di Madrid tahun 2004 silam. Wajar, jika kemudian reaksi masyarakat dunia juga gegar. Dan ini lah yang sangat saya rasakan. Segera saya menerima puluhan lalu kemudian mencapai lebih 100 pesan yang tidak hanya berisi pertanyaan kabar, tapi juga peringatan, alias wanti-wanti, agar hati-hati dan jangan keluar rumah setidaknya 1-2 hari ke depan. Benar-benar khas kekeluargaan Indonesia. Uniknya, rekan-rekan yang segera update informasi adalah rekan-rekan dosen yang sedang studi di berbagai negara. Tampaknya solidaritas sesama pelajar dan se-profesi sangat kuat. Perasaan haru tentu saja menyelimuti saya, demikian banyak rekan dan sahabat yang mengkhawatirkan dari berbagai belahan dunia, Amerika, Inggris, Belanda, dan terutama Indonesia. Namun, rasa haru itu segera mengantarkan saya pada perasaan lain yaitu paranoid. Dari kondisi awal yang tidak terlalu khawatir, menjadi cemas. Begitulah pengaruh komuniasi ternyata.

Beberapa rekan mahasiswa Indonesia di Paris yang sempat saya kontak tadi malam, rata-rata menanggapi dengan tenang. Menurut mereka yang sudah lebih lama tinggal di Paris, kondisi seperti ini mungkin akan sedikit mengkhawatirkan namun akan segera membaik, seperti kejadian Charlie Hebdo lalu. Bahkan salah seorang rekan se-asrama sempat tertawa dengan kecemasan saya. Walaupun, tetap saja mereka menyarankan untuk tidak bepergian jika tidak ada hal sangat penting. Kondisi psikologis yang sedikit berbeda muncul di grup penerima beasiswa 5000 Doktor Kementerian Agama. Dari 14 orang yang sedang studi di Prancis, rata-rata menunjukkan kekhawatiran, meskipun 12 orang di antaranya berlokasi di luar kota Paris. Mungkin ini dampak psikologis sebagai pendatang baru. Perbincangan grup WA segera hangat dengan seruan kehati-hatian, terutama kepada saya yang berlokasi paling dekat dengan tempat kejadian, sekitar 4 km.

Pengalaman saya pribadi, nuansa islamophobie di Prancis antara nyata dan tidak. Dimana-mana banyak orang menyebutnya, namun sampai hari ini saya belum pernah bertemu langsung, entah karena baru 1,5 bulan tinggal di Paris. Penampilan saya masih sama dengan saat berada di Indonesia, dan jelas masih terbata-bata berbicara bahasa Prancis. Di jalan, sering saya dihampiri oleh seseorang ketika tampak kebingungan mencari sesuatu. Dengan senang hati mereka menujukkan jalan yang saya cari. Ketika membawa barang berat naik-turun tangga yang ada di hampir setiap stasiun kereta (berbagai jenis kereta), selalu ada yang menawarkan bantuan. Suasana di kampus juga biasa saja, tidak ada perlakukan berbeda. Bahkan ketika masuk asrama, dokumen saya juga tidak lengkap, kalau tidak mau dibilang tidak ada. Pengurus asrama sangat ramah dan menghibur saya dengan berkata “Tidak apa-apa, itu hanya lembaran kertas bagi saya. Nanti saja anda lengkapi”. Semoga ke depan terus seperti ini.

Di Kota Paris sendiri, khususnya di kampus-kampus besar, perempuan berjilbab lumayan sering ditemui, bahkan beberapa ada yang memakai gamis dan jilbab besar menjuntai se-lutut. Di daerah pinggiran yang umumnya merupakan basis warga Islam, perempuan berjilbab lebar lebih banyak lagi ditemukan, meskipun bukan dari warga asli Prancis. Bahkan, daerah-daerah pinggiran memiliki pusat-pusat perbelanjaan pedagang muslim. Ketika saya mengunjungi daerah Lyon dan Bordeaux, perempuan berjilbab di transportasi publik atau di tempat umum lainnya malah lebih banyak saya temukan. Entah ini kebetulan atau memang ini realitas statistik. Karena itu saya katakan, islamophobie bagi saya yang pendatang baru ini antara nyata dan tidak.

Tentu saja, kondisinya tidak sama dengan di Indonesia, terutama soal ibadah. Selain masjid yang sangat jarang sekali ditemukan di kota Paris, tidak ada tempat ibadah di lokasi umum. Ini merupakan konsekuensi kebiajakan negara sebagai negara sekuler (laïc), yang memisahkan urusan agama dari negara. Pengalaman saya, jika waktu shalat di kampus, maka saya mencari ruang kosong dan shalat di sana. Karena itu, membawa syal penting bagi saya sebab multi fungsi sekaligus sebagai sajadah. Sekali waktu, saya dan beberapa teman sempat shalat berjamaah di salah satu pojok taman sekitaran menara Eiffel. Mungkin orang heran melihatnya, tapi mereka tidak mengganggu.

Singkatnya, sejauh yang bisa saya jangkau, kondisi warga Indonesia dan muslim secara umum masih stabil di Kota Paris. Berita resmi dari KBRI di Paris juga menyatakan demikian. Meskipun, sampai pagi ini (Sabtu 14 November 2015) saya belum bisa mengakses informasi langsung dari KBRI di Paris. Karena itu, warga Indonesia dan umumnya umat Islam menurut saya bisa lebih tenang, dan ikut berdo’a untuk kebaikan kemanusiaan di Paris ini. Sisi optimisnya, kejadian-kejadian seperti ini setidaknya menjadi tantangan bagi kita umat Islam, untuk lebih membuktikan bahwa Islam itu sebenarnya damai dan mendamaikan. Tentunya dengan catatan umat lain juga menjaga kedamaian. Siapapun orangnya, dari suku, negara atau agama manapun, tidak akan senang jika diganggu atau diperlakukan tidak adil. Dunia ini dipercayakan Allah untuk dikelola manusia, maka mari menjadi manusia yang layak menjaga kepercayaan dari Allah tersebut.

#Irma Sagala: Sabtu 14 November 2015, jam 10.15 Paris

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 15-11-2015 Jam: 05:48:15 | dilihat: 746 kali