Doktor Muda Cantik dari Jepang Ingin Mengenal Islam



(Pertemuan STAIN Bengkalis dan Ogawa dari Universitas Kiyoto Jepang)

Riau -- STAIN Bengkalis kedatangan tamu dari BRIN dan doktor muda dari Universitas Kiyoto Jepang. Sebelumnya, rombongan dari BRIN sudah cukup sering datang ke STAIN Bengkalis. Hanya saja, ketika kami ramah tamah di ruang ketua stain, doktor muda dari Kiyoto University baru pertama kali datang ke STAIN Bengkalis. Setelah dialog beberapa menit, kami dari pihak STAIN rencana akan melakukan MoU dengan universitas tersebut. Penulis artikel sebagai waket III yang membidangi kerjasama, lebih banyak diam. Kata pepatah “diam itu emas” saat itu sebenarnya kutang tepat. seharusnya lebih aktif berbicara, saya kelihatannya lebih pendiam dari doctor Jepang yang terkenal budaya irit bicara ( jangan-jangan, saya ada gen keturunan bangsa Jepang ).


Nama doktor muda tersebut yaitu Mariko Ogawa. Ia seorang perempuan cantik, berkacamata, rambut pendek diikat, kulit putih dan badan kurus. Untuk ukuran perempuan Indonesia, ia terlalu sederhana dalam berpakaian. Tapi sorot matanya, menunjukan kedalaman ilmu nya sebagai seorang peneliti.


Sebagai seorang peneliti dan bisa juga tradisi bangsa Jepang yang irit bicara semakin terlihat ketika ia mengomentari pembicaraan kami. Sebenarnya bahasa Indonesia nya cukup fasih. Tapi sebatas untuk kepentingan komunikasi, tidak sampai pada bahasa-bahasa majaz atau bahasa gaul model masyarakat bengkalis. Mas Edi Purnomo Kabag AUAK paling pandai bergurau. Ia mencoba membangun suasana cair dalam pertemuan tersebut. lagi-lagi, ogawa hanya tersenyum dan mengomentari dengan kalimat terbatas. Meskipun komunikasi kami terkendala pada bahasa, tapi pertemuan ini terlihat akrab dan penuh kekeluargaan.


Informasi yang menarik dari Ogawa sebagaimana yang saya dapat dari Mas Awal dan Mas Iyan dari BRIN, bahwa Ogawa selain sebagai peneliti dari Universitas Kiyoto Jepang, juga sedang mempelajari agama Islam. Kedatangan nya ke STAIN karena perguruan tinggi menjadi satu-satunya perguruan tinggi islam negeri di kabupaten bengkalis. Bahkan ketua STAIN sebelumnya, Profesor Samsul Nizar mempunyai cita-cita perguruan tinggi STAIN yang akan berubah menjadi IAIN tetap pada visi-misi dasar yaitu sebagai pusat kaderisasi ulama. Tujuannya, agar output perguruan tinggi Islam semakin jelas dalam melahirkan ulama-ulama berkualitas di masa mendatang. Apalagi saat sekarang ini, para ulama banyak yang telah meninggal dunia, sementara kaderisasi masih terlihat belum maksimal. Ada semacam kekhawatiran terjadi kelangkaan ulama, jika perguruan tinggi tidak segera menyiapkan secara serius ke arah tersebut.


Pada saat pertemuan tersebut, Ketua STAIN Bengkalis Dr. Abu Anwar mencoba memberi penjelasan tentang Islam. Hal ini bermula dari Mas Jarir baru saja cek kesehatan gratis yang diadakan oleh Puskesmas Bengkalis. Hasil nya cukup lumayan tinggi kadar gulanya. Dr. Abu Anwar menjelaskan bahwa pola makan bangsa Indonesia ada yang sedikit keliru jika mengacu kepada hadist nabi yang lebih mengutamakan kualitas makanan ketimbang kuantitas nya. sabda nabi, “ Kita (kaum muslimin) adalah kaum yang hanya makan bila lapar dan berhenti makan sebelum kenyang”. Meskipun hadist ini tergolong hadist dhaif, tapi dari segi isi nya benar tentang prinsip-prinsip hidup sehat yang sangat dianjurkan dalam islam.


Informasi dari Mas Jarir yang membidangi bidang akademik, bahwa Mariko Ogawa belum mempunyai suami dan baru tahap pedekate dengan warga Indonesia. kemungkinan juga sama-sama doktor juga, atau paling tidak bekerja pada bidang yang tidak jauh dari profesinya sebagai peneliti. Teorinya seperti itu, jadi terlihat klop. Masa doktor bidang teknologi satelit dan bidang-bidang ikhwatihi berpacaran dengan doktor ushul fiqh pasti tidak nyambung. Yang satu bicara tentang atom, proton dan netron, satu lagi membahas al’adatu muhakamah. Tentu kurang lucu kedengaranya.


Meskipun demikian, saya tertarik dengan penjelasan dari Mas Iyan dan Mas Awal dari BRIN, bahwa doktor muda dari Jepang ini mempunyai minat tinggi mempelajari ajaran Islam. Tentu saja mempelajari Islam dari sumber rujukan nya yaitu Al-Qur’an dan Hadist serta di komperasikan dengan perilaku masyarakat muslim. sebagai seorang saintifisme, Ogawa tentu melihat secara obyektif fakta-fakta ajaran Islam dan realita yang ada di masyarakat. Memang seharusnya antara das sein dan das sollen harus selaras sebagai yang diajarkan pada madzhab ilmu-ilmu eksasta. Meskipun ia bisa melihat realita masyarakat Islam yang beragam perilakunya tidak membuat independensi menilai ajaran Islam tidak subyektif. Saya kira, tradisi para peneliti yang benar selalu melakukan hal-hal yang demikian. Ia melihat Islam sebagai ajaran dan muslim sebagai penganutnya. Ada dua hal yang berbeda dalam memberi penilaian. Dan keputusan-keputusan penilaian dari kedua hal tersebut bisa saja berbeda.


Penulis dulu pernah membaca seorang perempuan yang menjadi mualaf dan kebetulan cerita ini juga berasal dari negara Jepang. Suatu hari ia diwawancari oleh seorang reporter dari salah satu majalah Islam.

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 04-05-2024 Jam: 01:53:35 | dilihat: 41 kali