Martin van Bruinessen Muda Terpesona Wajah Islam Nusantara




Diktis (Balikpapan, Indonesia — Sabtu, 22/11). Salah satu ilmuwan dari manca negara yang diundang panitia Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-14 Tahun 2014 adalah Prof. Dr. Martin van Bruinessen. Antropolog kelahiran Schoonhoven, Utrecht, Belanda pada 10 Juli 1946 ini mengenal dengan baik kondisi umat Islam di Indonesia, termasuk tradisi pendidikan di pondok pesantren dan organisasi tarekat.

Pendiri International Institute of the Study of Islam in Modern World atau ISIM (1998) ini mengisahkan perjalanan hidup dan riwayat akademiknya, sampai akhirnya kesempatan mengunjungi Indonesia datang menghampiri. Martin muda adalah seorang mahasiswa yang menolak praktik penjajahan. Sementara, negara kelahirannya memiliki lembaran sejarah buram: menjajah bangsa Indonesia dalam rentang waktu hingga tiga abad lebih.

Kondisi yang demikian membuat Martin muda prihatin, sampai marah pada negeri dan diri sendiri. Martin pun tidak tertarik terhadap hal ihwal yang berhubungan dengan Indonesia, karena tidak kuat membayangkan seperti apa kondisi bangsa yang dijajah hingga ratusan tahun. Pendek kata, Martin kala itu tidak memiliki cukup wawasan tentang Indonesia; atau bahkan dia sengaja membatasi pengetahuannya tentang Indonesia karena berkaitan dengan sejarah negaranya.

Namun menghindari yang bersangkut-paut dengan Indonesia adalah tidak mungkin bagi Martin. Pasalnya, Indonesia sudah ada, bahkan di dalam keluarganya sendiri. Keluarga Martin memang tidak terlibat langsung dengan aktifitas penjajahan atas Indonesia, namun sejak kecil Martin sudah akrab dengan, misalnya, ‘nasi goreng’. Keluarga Martin juga menjelaskan, ‘nasi goreng’ makanan khas orang Indonesia. ‘Pisang goreng’ juga tersaji di meja makan keluarga Martin hampir pada setiap pagi hari.

Takdir Membawanya ke Indonesia

Di negara Belanda—pada masa itu—ada semacam tunjangan bagi pengangguran. Martin yang sudah memiliki gelar Doctor of Philosophy (Ph.D) termasuk orang yang memiliki hak untuk mendapatkan tunjangan itu, dengan syarat setiap minggu mengirimkan berkas bukti telah mengajukan lamaran pekerjaan (foto copy surat lamaran) kepada instansi terkait.

Dalam kenangan Martin, kala itu dia rajin menulis lamaran kemudian dia mengirimkan ke lembaga-lembaga yang tidak mungkin menerimanya, karena si pelamar memang tidak memiliki kompetensi di bidang yang dituju. Satu hari, Universitas Leiden menawarkan pekerjaan menjadi peneliti tentang Islam Indonesia. Bidang ini jauh dari minat dan penguasaan Martin. Dia mengirim surat lamaran dengan tujuan untuk memperoleh tunjangan pengangguran, bukan untuk menjadi ahli Indonesia.

Sudah menjadi suratan takdir. Martin dipanggil untuk wawancara. “… Kapan Anda akan berangkat ke Indonesia,” kata Martin menirukan pertanyaan pewawancara kepada dirinya. Sekitar seminggu kemudian Martin berangkat ke Indonesia. Setibanya di Jakarta, tempat yang dia kunjungi pertama kali adalah kawasan makam Sunan Gunungjati di Cirebon, Jawa Barat.

Aktifitas ritual keagamaan di komplek makam - masjid yang dipenuhi jama’ah shalat lima waktu, ritual ziarah dan dzikir di makam, sampai gema suara adzan yang dilantunkan lebih dari tiga mu’adzin mampu membuat seorang Martin ‘lupa’ negara asalnya, Belanda. Pelan-pelan, penulis buku Kitab Kuning ini mulai menikmati alam Indonesia, terutama warna yang ditampilkan kaum muslim. (dhoni)

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 24-11-2014 Jam: 08:01:31 | dilihat: 3511 kali