Nico JG Kaptein: Pasang Surut Hubungan Indonesia Islam - Belanda




Leiden (Diktis, 22/11) – Ketika delegasi pemerintah Belanda yang dipimpin Eric Beerkeens membincang desain MoU dengan Pemerintah Indonesia u.p. Kementerian Agama, peserta Short Course Riset Bertaraf Internasional di Universitas Leiden menerima perspektif riset tentang pasang surut hubungan Indonesia Islam dengan Pemerintah Belanda yang disampaikan oleh Nico JG Kaptein. Kaptein adalah salah satu dosen pada Universitas Leiden yang lama meneliti dan mengkaji tentang Indonesia, hubungan agama dan Negara, studi Islam, pengantar kajian Al-Quran dan Hadits dan lain sebagainya. Dalam pemaparan seesi ini, Kaptein membagi periode hubungan antara Indonesian Islam dengan Belanda ke dalam tiga periode utama:

Pertama, Periode Kolonialisasi. Dalam periode ini, kajian sastra dan Islamic studies sangat dipengaruhi oleh dan termasuk ke dalam program penjajahan Hindia Belanda dan dimaksudkan sebagai alat penjajahan. Dalam periode ini, ada beberapa institusi penting yang berhubungan dengan Belanda dengan negeri-negeri jajahannya termasuk Indonesia, yaitu: Military Academy di Breda (didirikan tahun 1826); Indische Instelling di Delft (didirikan tahun 1842); Academic Interest di Leiden, walaupun saat itu perannya masih terbatas, tetapi juga digunakan untuk kepentingan penjajahan); dan, Missionary Societies Marginally Dealt with Islam, yang tujuannya untuk mengkristenkan penduduk-penduduk negeri jajahan. Di institusi-institusi ini, mereka yang akan diturunkan ke negeri-negeri jajahan diajarkan tentang berbagai hal tentang keadaan negeri jajahan termasuk bahasa, budaya, dan agama.

Dalam periode ini, belanda juga mendirikan Office of Native Affairs in Batavia (1889-1942) dimana salah satu nama yang terkenal dan pernah bekerja disini diantaranya adalah C. Snouck Hurgronje (1857-1936). Penjelasan mengenai Snouck didiskusikan secara mendalam oleh Kaptein dalam Lecture Series kali ini. Menurutnya, Snouck memiliki hubungan yang bagus dengan masyarakat setempat, bahkan ia sempat menikah dengan 2 wanita sunda dan punya beberapa anak. Karena hubungan ini, Snouck memiliki akses yang luas ke masyarakat setempat.

Snouck merupakan seorang penulis yang produktif. Selama hidupnya ia telah menghasilkan buku Mecca (1888); Java; Gajo (1903); Aceh (1893-4); Advices to the Colonial Government. Salah satu bukunya yang fenomenal adalah “the Acehnese” yang menceritakan secara detil tentang Aceh termasuk budaya, agama, dan tata cara pergaulan. Menurutnya, motivasinya menulis buku tersebut adalah sebagai ‘laporan’ kepada pemerintah Belanda dimana dia bekerja. Dapat dikatakan, buku ini merupakan informasi intelijen tentang cara menaklukkan Aceh. Hasil nyata dari periode ini adalah pembangunan infrastruktur yang bagus tentunya bagi kepentingan pemerintah colonial Belanda

Kedua, Period of Decay (1945-1970), yakni periode kehilangan. Dalam periode ini, orang-orang Belanda yang dulunya bekerja di wilayah colonial belanda menjadi kehilangan pekerjaan karena kebijakan pemerintah Soekarno yang menaturalisasi semua asset Belanda yang ada di Indonesia. Pada akhirnya, mereka yang ahli tentang Indonesia akhirnya merubah fokus kajian menjadi dua bentuk: geographically dan methodologically

Menurut CAO van Nieuwenhuyze (1920-2011) dalam “Aspect of Islam in Post-colonial Indonesia”, bahwa topik, tujuan dan metode kajian tentang Indonesia sekarang berbeda sekali dengan masa kolonial. Secara umum, kajian dalam masa ini lebih difokuskan pada seluruh kondisi Indonesia, baik itu ekonomi, sosiologi maupun politik.

Ketiga, Period of Revival. Dalam periode ini, hubungan Indonesia dan Belanda sudah membaik sehingga banyak kerjasama yang dihasilkan termasuk dalam bidang penelitian yang mempunyai keuntungan bagi kedua belah pihak. Beberapa program yang dibentuk di antaranya: Programma Indonesische Studien (PRIS 1975-1993), Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS 1988-2005), International Institute for Study of Islam in the Modern World (ISIM 1999-2009) dan SPIN priority program “The dissemination of religious authority in 20th century Indonesia (2001-2005)

Sedangkan beberapa program kerjasama dan keislaman yang agak baru, yaitu: Training of Indonesia Young Leader Program (YILP 2005-2012), Islam Research Program (IRP 2010-2013), Leiden University Centre for the Study of Islam and Society (LUCIS 2009-) dan Netherland Interuniversity School for Islamic Studies (NISIS 2009-).

Kaptein juga mengatakan bahwa sebagai hasil dari masa colonial dan inisiatif masa sekarang, Leiden mempunyai infrastruktur dan sumber-sumber kajian tentang Islam yang sangat memadai terutama untuk wilayah Asia Tenggara seperti.

Penguasaan dan pemahaman Kaptein tentang Indonesia menjadikan forum seminar ini makin menarik. Di sisi lain, antusiasme peserta Short Course juga sangat tinggi makin menambah forum ini terlihat dinamis. (azhar/n15)

oleh admin-dev | Edisi Tanggal: 25-11-2016 Jam: 15:23:41 | dilihat: 1472 kali